-- Karena adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam tindakan (pramoedya Ananta Toer)--
“Wooo! Pelit! Dasar Minang”, “Kamu orang Minang ya? Berarti Pelit ya?!. Sejenak saya terdiam. Kata itu ringan, terlontar begitu saja dan tanpa beban dari beberapa teman saya dan terkadang diikuti oleh tawa. Kata itu, selalu menyudutkan saya. Saya bukan sedih karena menyudutkan sifat saya, namun saya sedih karena menyudutkan dan membawa-bawa daerah asal saya, Minang.
Pelit, itu sifat lain dari seorang manusia, dan bukan sifat dari suatu kelompok, menurut saya. Wong jika dia mau mencemooh sifat saya yang pada saat itu lagi pelit –mungkin karena memang tidak ada yang bisa saya berikan, dan kebetulan mungkin lagi pelit— boleh kok, saya tidak akan protes dan saya akan menerimanya sebagai kritikan. Namun ketika sudah membawa embel-embel daerah saya, sepertinya agak kurang bisa diterima. Yang melakukan dan mempunyai perbuatan itu saya, tapi kenapa malah semua orang didaerah saya yang kena .Bukankah dengan kata “Minang” maksudnya adalah semua orang Minang ?. Sejenak saya teringat akan berbagai judge yang tidak adil yang ditujukan pada masing-masing daerah. Stereotip.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata ‘stereotip’ adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subyektif dan tidak tepat. Pelit, kata itu secara stereotip sering ditujukan pada bangsa Minang dan Cina sehingga sadar atau tidak kita sering menjudge seseorang berdasarkan sifat secara stereotip.
Supaya tidak terjebak dalam pandangan yang kurang adil ini, sebaiknya kita mengenal tradisi, kebudayaan dan kebiasaan suatu daerah. Seperti bangsa Minang dikenal sebagai perantau. Para perantau ini umunya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Disisi lain sistem kekerabatan matrilineal yang mengutamakan kesatuan genealogis mengharuskan mereka untuk memberikan perhatian kepada kemenakan dan saudara-saudara di kampung, baik perhatian materi maupun non materi. Karena sebagian besar para perantau tidak mempunyai kesempatan yang banyak untuk memberi perhatian non materi, maka solusinya adalah memberikan perhatian materi. Karena itulah mereka harus berhemat agar nanti ketika mudik dapat membawa uang lebih banyak untuk diberikan kepada saudaranya yang berada di kampung.
Selain itu, terdapat beberapa anggapan dari orang kampung bahwa orang yang merantau itu pasti sukses di tanah rantau, walau dalam beberapa hal tidak sesuai dengan kenyataannya. Atas dasar asumsi itulah, mereka harus kelihatan “keren” ketika pulang kampung walaupun mereka harus banting tulang untuk melakukannya. Hal inilah yang turut membuat mereka harus berhemat-hemat di tanah rantau. Beberapa alasan diatas tersebut, hanya mewakili beberapa pandangan saja kenapa bangsa Minang dikenal pelit.
Tapi lepas daripada itu, sifat pelit itu merupakan sifat individu dan bukan sifat suatu kelompok. Jadi tidak bisa kita menjudge seseorang berdasarkan stigma-stigma yang beredar dalam masyarakat. Mungkin kita mendengar penilaian seseorang atas suatu bangsa. Beberapa penilaian ini juga tidak terlepas dari individu yang dijudgenya. Mungkin dia memang menemui dua orang atau lebih yang berasal dari daerah yang sama yang mempunyai kemiripan sifat, makanya timbullah dugaan yang bisa mengarah kepada prasangka yang tidak tepat atau dikenal dengan stereotip. Nah orang ini akan menceritakan penilaian ini kepada temannya, dan temannya ini pun akan bisa ikut menduga seperti yang diceritakan. Begitulah stereotip , terjadi atas penilaian yang kurang adil dan subyektif.
Jika ditelusuri lebih dalam dan atas dasar penilaian individu, banyak juga orang yang dinilai secara stereotip, justru malah tidak menunjukkan sifat seperti apa yang sering kita dengar sebagai pandangan yang tidak tepat ini. Tapi terlepas dari hal tersebut, sudah sebaiknya kita adil dalam menilai seseorang, bukan berdasarkan ukuran yang abstrak dan tidak objektif apalagi sampai membawa-bawa daerah.
0 komentar:
Posting Komentar