RSS

Pukulan Terakhir


Menyesal. Itulah kata yang tepat untuk mewakili perasaan saya ketika telah berhasi memukul dua orang siswa. Satu orang saya cubit dan satunya lagi saya pukul menggunakan kayu panjang. Tiba-tiba saja, ketika sedang menggantikan seorang guru yang tidak hadir, saya naik pitam melihat tingkah dua orang tersebut. Mereka bernyanyi seenaknya, bercerita tiada henti dan bahkan tidak menghiraukan saya. Mungkin selama ini saya jarang bahkan boleh dikatakan tidak pernah ringan tangan pada mereka, sehingga mereka menganggap teguran saya hanya angin lalu. Bahkan jika saya mengajar di kelas lain pun dia suka masuk kekelas saya, mengganggu saya yang mengajar dan membuat keributan dengan bernyanyi bahkan sekedar protes karena saya jarang masuk ke kelasnya untuk mengajar, saya bahkan tidak marah dan bahkan mempersilahkan dia untuk menyanyi sepuasnya disertai tarian di depan kelas. Setelah pertunjukan tersebut selesai barulah dia keluar sendiri atau saya suruh dan pembelajaran di mulai lagi. Saat itu saya tidak menganggap bahwa dia pengganggu, saya hanya menganggap bahwa itu adalah bentuk mencari perhatian saya karena banyak sekali guru yang suka memarahinya dan memukulnya karena kenakalannya dan saya adalah pengecualiannya.
Tapi hari ini, entah saya ingin memberi pelajaran kepada mereka bahwa saya juga bisa marah seperti guru lainnya atau mungkin sedang sensitif karena tidak ada persiapan mengajar (karena manajemen sekolah saya sangat jelak, saya disuruh tiba-tiba masuk), saya mengamuk, memperlihatkan tampang garang saya sehingga murid yang biasanya ikutan nakal menjadi diam dan mengerjakan tugas.
Lama saya merenung, menyesali diri tiada henti. Kenapa saya tega berbuat demikian kepada mereka. saya ingat salah seorang dari mereka berkata “opmo (berhentilah) ibu seperti itu”. Kata-kata itu masih terngiang dikepala saya disertai ekspresi wajahnya yang pasrah. Menyesal, sedih, dan bahkan menyalahkan diri sendiri.
Tiba-tiba saya teringat pengalaman ketika duduk di kelas 2 SD. Entah apa salah saya, mungkin karena tidak bisa menjawab pertanyaan guru saya, tiba-tiba tangannya terulur untuk menjewer sebelah kuping saya. Ah! Sakit dan membuat sedih. Untungnya saya mengadu kepada orangtua saya perihal perilaku guru saya tersebut dan orangtua saya melapor kepada kepala sekolah. Sejak saat itu, guru tersebut tidak berani memukul saya.
Ketika lulus SD sampai saat ini, ketika bertemu dijalan atau ketika melihat beliau, guru SD saya tersebut, yang terbayang di otak saya adalah pengalaman ketika dijewer tersebut. Tidak ada yang lainnya. Padalah setelah kelas dua, dia juga mengajar saya ketika saya duduk di kelas empat.. Tidak, saya tidak dendam sedikitpun kepadanya. Tapi mungkin begitulah yang mudah tertanam di otak saya, bahwa dia pernah menyakiti saya di kelas dua SD.
Sekarang ketika saya menjadi guru, saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak menyakiti murid saya secara fisik maupun secara verbal. Saya tidak ingin membuat murid saya mengingat saya seperti saya mengingat guru SD saya. Saya tidak ingin membuat murid saya merasakan pukulan, tamparan dan cubitan saya seperti yang sering diterimanya dari guru lain dan bahkan juga dari orangtuanya. Namun kenyataannya sekarang ini saya mengingkari janji saya sendiri. Saya hanya bisa berdoa semoga ini adalah kesalahan saya yang terakhir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS