RSS

Sepotong kisah dari Beting: Ibu sebelah Surau

Pantai Beting yang masih asli

Adalah Beting, sebuah Dusun di Desa Bintet, Kabupaten Bangka, tempat saya melaksanakan KKN bersama 22 orang teman saya. Beting adalah dusun tempat KKN subunit saya. Berbeda dengan Pesaren, Dusun tetangga yang dihuni oleh mayoritas etnis China, Beting dihuni oleh masyarakat Melayu. Namun yang akan saya ceritakan kali ini bukanlah bagaimana kedua kultur masyarakat yang sangat berbeda ini dapat hidup berdampingan, namun mengenai seorang perempuan yang hidup di Beting, tepatnya disebelah Surau. Saya tidak tahu namanya siapa, namun kami memanggilnya ibuk. Taroh saja namanya ibu sebelah surau. 
Jalan tanah merah di Beting

Ibuk sebelah surau yang hidup sendirian ini sehari-hari bekerja sebagai penambang timah. Dalam pengamatan saya selama KKN di Beting, sudah tidak banyak perempuan bekerja seharian menambang timah. Hal ini karena para suami yang juga bekerja sebagai penambang timah di tambang legal dengan pendapatan yang lumayan jika dibanding dengan menambang di bekas pengerukan. Saya pernah menemuinya sehabis menambang timah bersama anaknya yang juga perempuan, namun sudah tidak tinggal bersamanya dan sudah berkeluarga (sepertinya tinggal di Belinyu, Pusat Kecamatan Belinyu).
Dia menceritakan kepada saya bahwa dia mencari timah di bekas-bekas tambangan timah yang dilakukan oleh penambang-penambang legal. Karena kualitas timahnya sudah buruk dengan kuantitas yang sedikit, maka penambang berskala besar tersebut ganti daerah tambangan. Kepada saya, dia memperlihatkan hasil tambangannya yang berada dalam ember kecil. Saya tidak tahu bagaimana perbedaan kualitas timah, namun darinya saya tahu bahwa timah ini akan dibeli dengan harga yang sangat murah yang berada jauh dibawah harga pasaran (saya lupa berapa harganya, namun antara kisaran Rp. 15.000). Darinya saya juga tahu bahwa kegiatan menambang secara manual ini membutuhkan tenaga ekstra. Harus membungkuk menghadap tanah dibawah teriknya matahari Bintet.ah, hasilnya tidak sampai separuh ember kecil tersebut Dalam hati saya terharu sekaligus kagum padanya. 

Bekas tambang timah, bekas cerukan ini nantinya akan jadi Kolong

Selain menambang timah, dia juga menerima pesanan membuat kue. Namun, karena perekonomian Beting dan Bintet pada umumnya yang masih rendah, jadi kue-kuenya tidak sering dipesan oleh orang lain. 
Umumnya masyarakat Bintet, termasuk Beting, tidak pernah membuang air besar di WC, sehingga mereka tidak mempunyai WC. Biasanya untuk membuang hajat, mereka lakukan di Kolong (bekas pengerukan timah yang akhirnya dapat menampung air sehingga menyerupai sungai kecil atau danau) dan di kebun belakang rumah dengan menguburnya. Untuk itu, Pemda setempat, yakni Dinas Kesehatan, melalui Bu Dokter di sebelah pondokan kami berinisiatif untuk pengadaan WC di Beting. Dan kami kebagian jatah untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat. 

caranya cukup sederhana, yakni membuat galian tanah untuk septic tank dan WC cukup didindingi terpal. Kepada Ibu sebelah Surau, saya menanyakan, apakah dia kebagian jatah WC, dia menjawab tidak. Tidak mendapat jatah karena dia tinggal sendiri, yang ternyata diluar syarat penerimaan WC, yakni rumah yang dihuni oleh keluarga lebih dari 4 orang. Selain itu, dia juga memberikan alasan, kalaupun dia mendapat jatah WC, dia tidak akan sanggup untuk menggali lubang Septic tank. Saya memandangnya. Dari ucapan, pandangan dan nada bicaranya, jelas sekali dia menginginkan jatah WC dirumahnya.


Ketika saya perhatikan beberapa warga, sudah banyak dari mereka yang sudah membuat lubang septic tank, jadi kemungkinan besar sudah bisa diberi jatah WC. Dalam hati saya menyesali jatah WC yang tidak mencukupi jumlah rumah tangga yang ada di Beting. Namun, saya pun tak dapat berbuat banyak, toh pembagiannya sudah diatur oleh Pak RT. Ah, ternyata sayapun lemah...


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Belajar dari petani, belajar untuk menghargai nasi

Di awal Juli, di Salam, saya menghampiri seorang Mbah yang sedang duduk melepas penat dan berteduh.  Si Mbah bercerita bahwa dia sedang memanen padi. Ternyata cukup banyak yang saya ketahui dari cerita si Mbah, mulai dari cara pembibitan, proses penanaman, memanen. Dalam pembicaraan itu, saya menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang tidak saya ketahui tentang cara bersawah, dan hal ini membuat saya sekaligus malu karena saya adalah seorang penduduk yang berasal dari sebuah Negara agraris dan tumbuh besar di sebuah desa yang notabene kehidupan masyarakatnya bertani. Ternyata ada begitu banyak pengetahuan disekitar kita yang mesti kita ketahui namun sering kita abaikan. 


Salah satu proses yang mesti dilakukan sebelum menanam bibit padi

Si Mbah menawari saya makan disawahnya. Disana sedang ada tiga orang perempuan yang bekerja untuk si Mbah. Mereka sedang istirahat dan telah selesai makan. Agak malu, saya tetap makan dengan menu soto, tempe dan tahu goreng. Sambil menghabiskan nasi, saya bercerita dan ngobrol dengan tiga perempuan tersebut. Awalnya, cerita biasa, tentang asal, tinggalnya dimana, dan tentang kehidupan sehari-hari.  makan ditengah sawah ini membuat saya nambah.  Ditengah-tengah pembicaraan para ibu-ibu disana, saya menyimak bahwa agar mereka tetap kuat melaksanakan pekerjaan yang berat ini, ternyata mereka harus minum minuman berenergi yang ternyata terdapat efek sampingnya. Bikin jantung berdebar debar dan badan gemetaran. Lalu saya tanya, bagaimana solusinya, mereka menjawab untuk sementara meminum jamu-jamuan tradisional yang ternyata tidak terlalu berdampak. Selain itu, saya juga mendapatkan informasi tentang upah mengerjakan sawah yakni 6: 1 ember. 6 ember padi untuk yang pemiliki sawah dan satu ember untuk masing-masing pekerja yang membantu memanen. Saya menatap nasi dipiring saya. Terharu. Ya Allah, ternyata berat menjadi petani itu. Saya juga menyimak, bahwa untuk liburan mereka cukup jalan-jalan ke daerah sekitar seperti Godean. Alangkah sederhanya keinginan mereka.  


Mbah ditengah sawahnya yang belum siap dipanen

Agak sore, saya menghampiri lagi sawah si Mbah, kali ini 3 orang pekerja wanita yang membatu Mbah sudah pulang. Di sana saya duduk di tumpukan jerami ditengah sawah. Sambil bercerita, Mbah menyabit bekas rumpun padi yang telah dipanen. Saya memandang sawah yang telah dipanen sambil bertanya kapan selesainya dia menyabit bekas rumpun padi di sawah yang seluas ini?. 3 orang teman saya datang dan ikut bergabung. Salah seorang tertarik untuk ikutmenyabit bekas rumpun bambu karena kelihatannya begitu mudah yang kemudian diikuti oleh teman saya termasuk saya sendiri secara bergantian. Namun, ternyata bagi kami hal ini sulit untuk dilakukan.  Saya jadi teringat, seringkali saya membuang nasi karena tidak habis atau karena sebab lainnya. Ternyata proses nasi sampai dipiring kita itu tidaklah mudah. Dengan menghabiskan nasi dipiring makanmu adalah salah satu cara kecil untuk menghargai keringat para petani-petani yang bekerja seharian di sawah.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS