Perjalanan kali ini membuat kami menghargai kenyamanan dan hal-hal kecil yang sering terabaikan
“Bentar lagi nyampe kok, itu udah deket” selalu begitu kata-kata Ipang, Harry, Kausar kepada kami. Sebagai orang yang sering mendaki gunung dan pernah mendaki Lawu, mereka selalu mengatakan hal tersebut ketika kami dilanda capek luar biasa dan berhenti (lama) untuk mengatur nafas. Menurut mereka, Itu enaknya pendakian yang dilakukan malam, kami hanya terpaku pada jalan yang kami lalui sehingga kami tidak merasakan tambahan capek karena tidak melihat tanjakan yang panjang didepan mata ditambah kalimat “penyemangat” tadi.
Walaupun tidak melihat tanjakan dan tebing yang terjal, tetap saja saya, dan sepertinya Anin, Dini, dan El sebagai orang yang baru mendaki gunung, dilanda kecapekan luar biasa dan kami berusaha menyemangati diri sendiri. Rasanya ransel yang kami bawa semakin berat saja. Ya! Ini adalah perjalanan mengalahkan diri sendiri dan pada saat berada pada puncak kelelahan, kita tahu batas keberadaan diri kita.
Akhirnya kami, khususnya Saya, Dini, Anin, EL, Ipang, Hendra, Kemas, Ucup mendapat kesempatan untuk beristirahat di pos 3. Kausar dan Harry harus kembali ke Batu Jago mengambil tas Kausar yang tertinggal karena alasan perut. udara langsung menusuk ketika beberapa menit kami diam untuk beristirahat. Segera saja kami mendirikan tenda dan memasak. Rasa lelah terbayar ketika matahari pagi perlahan memberi warna pada awan-awan. Subhanallah! betapa kecilnya kami di alam Mu.
Sunrise Lawu dimusim kemarau |
Kami memutuskan untuk bermalam dan mendirikan tenda di pos 5 yang terdapat Sendang Drajat sehingga kami tidak membawa beban lagi ketika melanjutkan perjalanan ke puncak. Sesampai dipuncak, matahari terbenam segera menghiasi awan yang mengitari puncak lawu, yang berada di bawah kaki kami. Terbayar sudah rasa lelah kami.
Kembali ke pos 5, udara Lawu dimusim kemarau yang semakin dingin dengan oksigen yang semakin menipis. Ipang yang kondisinya memburuk dan Dini yang tiba-tiba ambruk, hampir tak sadarkan diri. Saat itulah kami dihadapkan pada keadaan yang tak akan kami lupakan, bahwa solidaritas, saling berbagi, saling menjaga, dan rasa kebersamaan tidak hanya sebagai seorang teman namun lebih sebagai sesama yang berada ditempat yang jauh dari kehidupan yang biasa kami lalui, sunyi, dan mencekam. Walau kami tahu bahwa tidak ada orang lain yang berada di luar tenda, Saya yang berada ditepi dan juga teman-teman lainnya seolah mendengar bahwa ada kegiatan diluar tenda kami. Malam yang panjang dengan berbagai pikiran tentang berbagai hal, terutama mengenai sendrang drajat dan penghuninya dan harapan besok pagi.
Syukurlah, pagi datang juga. Kalau tidak untuk menghemat energi untuk turun, Sebenarnya kami ingin sekali menemui Mbok Yem, pedagang yang terkenal diantara pendaki Lawu, namun hanya Anin, Kausar, dan Harry saja yang bertandang ke warungnya. Kami turun pada tengah hari. Perjalan turun lebih cepat dibanding naik, bahkan beberapa ada yang berlari :D. Diperjalanan turun, kami sering menemui para pendaki yang berhenti untuk istirahat dan menikmati pemandangan. Kami juga menemui rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak dengan kambing yang diseret. Sepertinya mereka berziarah.
Akhirnya, lebih kurang empat jam perjalanan turun, kami sampai di basecamp Cemoro Sewu dan melanjutkan perjalan ke Jogja dengan motor. Walaupun saling mengejek atas “aib” atau peristiwa memalukan yang terjadi, lebih dari itu, bahwa kami mendapati diri kami yang baru dan bahwa kesetiakawanan lebih berharga dari apapun.
0 komentar:
Posting Komentar