RSS

Obrolan A sampai C tentang kuliner Sumbawa Barat



Ada yang bilang makanan daerah adalah identitas. Begitu katanya, makanya pas rendang diakuin sama negara malaysia sebagai masakan mereka, sebagian orang Indonesia cuap-cuap tidak terima. Selain itu beberapa yang berpendapat, rasa dalam masakan daerah juga merupakan cerminan karakter daerah tersebut. Jika masakan minang sebagian besar rasanya pedas, menandakan budaya orang minang yang blak-blakan dan ngomong apa adanya. Masakan jawa yang lebih dominan dengan citarasa yang manis mencerminkan karakter orang jawa yang pendiam dan suka memendam. Tapi itu kan katanya. Katanya lo, saya tidak mengamini pendapat ini karena beberapa tahun tinggal di Jawa, banyak juga masakannya yang pedas, dan malah sangat pedas dan menggigit. 
 
Ketika saya berada di Sumbawa Barat, saya ingat masakan khas mereka yang langsung membuat lidah saya ingin merasakannya lagi dan lagi. Singang nama masakannya. Ini adalah masakan yang pertama yang saya cicip ketika saya tiba di Pulau itu. Ternyata tidak Cuma singang yang membuat saya jatuh cinta, tapi juga ada Sepat dan sambel mangga muda serta sayur daun kelor.hmmmm...menuliskan ini membuat air liur saya terbit. 

Pedas dan asam. Itu adalah cita rasa yang mendominasi masakan khas sumbawa barat. Tak heran, selain cabe mereka selalu menyediakan asam jawa yang dalam bahasa mereka disebut Bage. Jika didapur ibu saya Cuma menyediakan asam jawa atau bage ini Cuma sebongkah kecil dan itupun lama habisnya, maka di Sumbawa Barat, kita akan menemukan bage dalam bongkahan yang besar-besar. Jika kita melongok cara pemakaian bage ini, jangan heran, karena satu genggaman anak kecil akan digunakan untuk sekali memasak. Namun mereka tidak memasukkan bage bulat-bulat seperti yang saya saksikan ketika ibu saya memasak. Mereka merendam lalu meremas bage ini agar asamnya keluar. Dan kemudian air hasil remasan ini yang akan dicampur dengan masakan.

Selain bage yang membuat citarasa asemnya kuat, beberapa buah juga diikutsertakan agar menambah kemeriahan asamnya. Jika bage merupakan campuran untuk membuat singang. Maka mangga muda dan bahkan buah jambu mete atau jambu monyet juga akan kita temukan dalam sepat. Saya pernah mencoba makan masakan Sepat hasil masakan Ibu-ibu PKK desa.  Citarasa pedas dan asemnya kali ini begitu luar biasa, benar-benar nendang dan membuat saya nambah beberapa kali. Hasilnya, saya harus merasakan mulas yang luar biasa malamnya.

Selain citarasa makanan yang khas, hal lain yang paling berkesan selama saya disana adalah cara makan mereka. Diawal saya berada disana saya selalu tak bisa melepas pandangan dari orang sumbawa Barat yang makan bersama saya. Bagaimana tidak, cara mereka makan tak biasa menurut saya. Pertama, Karena terbiasa makan dengan makanan berkuah, maka jika tidak ada masakan berkuah, mereka akan mencampurkan air minum putih kedalam nasi mereka sampai nasi mereka dipiring benar-benar terendam. Batin saya sih nasinya bakal tidak ada rasanya karena tercelup dengan air tawar, tapi hampir separuh orang yang saya temui pernah makan dengan cara begini.

Kedua, Jika kita makan bersama mereka dan masakan telah dihidangkan, mereka akan langsung mencicipi sayuran atau lauk langsung dari sendok yang ada di piring sayuran atau lauk tersebut. Karena kita terbiasa menyendok lauk untuk diletakkan di piring makan kita, maka mencicipi langsung sayuran atau lauk ini langsung masuk kemulut mereka akan membuat kita terheran-heran (dan sedapat mungkin kali saya berusaha menyendok lauk pertama kali) . Ini boleh dilakukan oleh semua orang yang ikut makan. Hal ini menandakan bahwa mereka satu rasa.

Tahukah kamu karakter orang Sumbawa Barat jika dihubungkan dengan makanan?. Orang Sumbawa barat yang saya kenal selama setahun saya disana adalah orang yang sangat terbuka dan ramah kepada tamu. Tak heran ketika saya berkunjung kerumah mereka, mereka selalu mengajak saya makan dan ini bukan cuma basa basi saja menurut saya (terkadang saya memanfaatkan moment ini agar bisa makan gratis dan tak perlu memasak, hahaha). Kenapa saya bilang ini bukan basa basi belaka? Hal ini terbukti ketika ada tamu atau tetangga yang datang, jika mereka menawari makan maka si tamu pun akan langsung makan bersama mereka. Dan akan menolak jika benar-benar telah makan dan sudah kenyang.

Selain itu, hampir semua orang sumbawa barat yang saya kenal pintar memasak (mungkin kepintarannya ini semakin kelihatan karena yang menilai adalah saya yang tak pandai memasak). Kenapa saya mengatakan hampir semua orang? Karena murid-murid saya yang kelas 4 saja sudah pintar memasak dan hasil masakan mereka tidak kalah enak dengan hasil masakan ibu-ibu mereka. Mereka sangat cekatan sekali mengiris tomat, membersihkan ikan, menakar bumbu-bumbu dan menggilingnya. Aduh, semakin membuat saya malu saja mereka ini!


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bukan Pahlawan



Terpujilah wahai engkau
Ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup
Dalam sanubariku
Sbagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
Begitulah lirik yang dibawakan siswa-siswaku ketika acara perpisahan setelah satu tahun aku mengabdi. Mereka berbaris membentuk dua shaf. Langkah kiri, langkah kanan, riang gembira mereka menyanyikan lagu ini, tersenyum dengan bibir memerah hasil dihias sejak subuh tadi. Ah mengabdi. Benarkah aku mengabdi untuk mereka? 

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa...

Sejenak aku tertegun dengan bait terakhir nyanyian mereka. Terakhir kali aku menyanyikan lagu ini ketika perpisahan kelulusan SMP. Kala itu, tanpa perasaan aku bernyanyi, datar, cuma mengikut lirik dan tanpa ekspresi. Acara berjalan seperti yang sudah diskenariokan: Pembacaan puisi perpisahan dan ucapan terimakasih untuk para guru-guru, paduan suara perpisahan atau terimakasih untuk guru-guru, bersalamanan dan meminta maaf kepada guru-guru, lalu jika ada yang menangis sedih, silahkan, malah konon akan membuat acara ini tambah khidmat dan syahdu katanya. 

Temanku yang waktu itu terkenal karena kebandelannya, kulihat menangis tersedu-sedu sambil meminta maaf kepada para majelis guru. Sedu-sedannya menular pada beberapa teman yang berada didekatnya. Tak tahu apakah ikut-ikutan menangis agar acara semakin syahdu, atau apalah, aku tak paham betul perasaan mereka. Aku yang merupakan remaja datar waktu itu, cuma nyengir polos memasang tampang pura-pura sedih ketika bersalaman dengan para majelis guru. Aku memang tidak sedih, toh sebentar lagi aku akan bersekolah kejenjang SMA yang ini berarti hal yangg kutunggu-tunggu. Selain itu, aku juga bakal sering bertemu dengan guru-guru SMP ku ini, karena rumahku yang dekat dengan sekolah. Jadi, sudah cukuplah alasanku untuk tidak menangis.

Trimakasihku, kuucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna slalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya, agar tumbuhlah bakatku
Kanku ingat slalu nasehat guruku
Trimaksih kuucapkan
Murid-muridku selesai bernyanyi beberapa lagu dan berhamburan memelukku. Beberapa kulihat berlinang air mata, persis temanku kala itu yang menangis tersedu-sedu. Dan beberapa lainnya kulihat menunduk dengan muka sedih.
Ah iya, tadi dalam lagu mereka menyebut kata pahlawan. mereka sebut guru adalah patriot pahlawan tanpa tanda jasa. Jika ini adalah perpisahanku sebagai seorang guru yang telah mengajar mereka, berarti kata-kata dalam lirik lagu tadi ditujukan untukku? Ah, aku jadi GR. Gede Rasa. Amboi, jadi karena inikah mereka memelukku? karena aku adalah pahlawan bagi mereka?. GR ku semakin menjadi-jadi. Ingin kuperbesar badanku ini agar semua muridku bisa memelukku. Agar mereka bisa menangis sejadi-jadinya menyesali perpisahan ini. Ingin kuperpanjang tanganku ini agar aku dapat merangkul seluruh siswaku dan dapat merasakan kesedihan mereka yang akan segera berpisah denganku ini. Denganku yang disebut dalam lirik lagi tadi sebagai pelita dalam kegelapan.

Ah, aku terbuai dengan kalimat tersebut. Akulah guru. Guru. Mereka menyebutku pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu mereka kenang. Selama ini aku beranggapan bahwa para pejuang kemerdekaanlah yang disebut pahlawan, tapi aku juga termasuk diantaranya. Betapa merekah hati ini oleh pujian tersebut. Aku yang tak pernah lelah mengajar mereka setiap hari. Aku yang tak pernah marah sekalipun pada anak-anak ini. Dan aku yang tak pernah berharap diberi tanda jasa walau sana-sini sibuk mengurus sertifikasi dan kenaikan pangkat. Yah,aku memang pahlawan. 

“Bu Arda, hati-hati dijalan nanti ya, nanti ibu kesini lagi kan?”  tanya Siska, salah seorang muridku sambil tersenyum. Aku tergagap sadar. Disana kulihat siswaku berbaris dengan tidak antri, berdesak-desakan. Bukan berdesak-desakan karena ingin segera bersalaman denganku, tapi karena tidak sabar ingin segera pulang kerumah setelah acara perpisahan ini. Bahkan beberapa ada yang keluar dari barisan dan kemudian meraih tangaku dengan paksa agar kami segera bersalaman. Aku capek dan pegal. Capek karena tidak tahu mana yang nyata dan mana yang mimpi. Capek karena satu jam lagi aku harus ke kantor dinas mengurus sertifikasiku. 

#ODOP6


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tukang Sampah yang Sesungguhnya itu Kita

Meme pada gambar diatas, saya temukan diakun salah satu instgram yang saya ikuti. Hmmmm setelah diperhatikan benar juga itu kata-kata dimeme, bahwa tukang sampah yang sebenarnya adalah kita yang memproduksi sampah dan lalu membuangnya sembarangan.

“YA TUHAN, KUTUKLAH AKU KALAU AKU MEMBUANG SAMPAH DISINI”.

Seain meme tentang siapa sesungguhnya tukang sampah, kalimat diatas, akhir-akhir ini sering saya temukan disebuah tempat yang kelihatannya menjadi menjadi bekas tempat pembuangan sampah, atau bahkan tempat teronggoknya sampah itu sendiri dan dalam beberapa kasus saya menemukan “kalimat sakti” tersebut tidak jauh dari tempat teronggoknya sampah, menandakan bahwa kata “disini” sudah pindah “kesana” beberapa meter, tidak jauh jaraknya. Mungkin dengan pindah beberapa meter, sudah membuat yang membuang sampah disana terbebas dari rasa kutukan tersebut.

Fenomena “kalimat sakti” tersebut sering saya temukan, kalaupun tidak persis redaksinya, namun maksudnya jelas sama, meminta kutukan pada yang membuang sampah didaerah tersebut. Namun, “kalimat sakti” ini pun akan hilang kesaktiannya seiring berjalannya waktu, terbukti terbukti ketika slogannya temukan ditengah onggokan sampah. 

Ironis memang menemukan kalimat tersebut ditengah onggokan sampah. Pihak yang membuatnya tersebut mungkin sudah kehilangan akal sampai-sampai membawa nama Tuhan untuk menjustifikasi dan mendakwa para tukang sampah. Jika kata-kata bernas atas nama Tuhan saja dituliskan tidak membuat para tukang sampah jera, apalagi jika memakai kata-kata manis berupa ajakan. 

Tapi saya tidak akan berkomentar terlalu panjang atas “kalimat sakti” ini, kenapa kalimat ini tidak ampuh dan kenapa kalimat nan magis ini diabaikan begitu saja. Pembiasaan. Itulah yang terpenting dalam sistem masyarakat kita. Pembiasaan tentang sesuatu yang baik dan yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. 

Jika pembiasaan untuk tidak membuang sampah sembarang sudah dilakukan oleh lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia, maka saya pun tidak akan terkena sampah kulit jagung yang keluar dari jendela sebuah mobil ketika saya berkendara dibelakang mobil tersebut, tidak akan menemukan pengendara mobil membuang tisunya sembarangan ketika berada dijalan raya dan tidak akan menemukan “Kalimat sakti" atas nama Tuhan tersebut dibanyak tempat. Bukankah tanpa kalimat sakti tersebut, jika orang-orang sadar akan kebersihan, maka dengan atau tidak membawa nama Tuhan, sampah tidak akan teronggok sembarangan. Sebenarnya kitalah makhluk pengotor lingkungan. Tukang sampah!

#ODOP3

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Muridku Pun Berwajah Televisi



Ade ape?” aku tak naklah” begitu kudengan sepintas kata-kata yang keluar dari salah seorang muridku yang sedang berbicara dengan temannya. “Aku lagi sibuk pun”

Oo rupanya mereka juga sedang gandrung dengan tayangan duo kembar dari negara tetangga. Aku lumayan sering mendengar murid-muridku bercakap dengan dialek negeri Jiran tersebut. Kadangkala mereka pun berbahasa melayu pula kepadaku dan memanggilku dengan panggilan “Cek gu”. Hal ini membuat aku pun sering menyelipkan kata-kata khas dari tayangan anak-anak tersebut dalam pembelajaranku. “Betul betul betul” begitu responku ketika mereka dapat menjawab pertanyaanku dengan tepat diiringi dengan tawa mereka. Ah anak-anak, ada saja tingkah mereka yang membuatku geli. Tak dipungkiri memang, tayangan yang mereka tonton dirumah akan berdampak pada tingkah mereka disekolah. 

Pagi ini aku sedang mengawasi anak-anak yang sedang piket harian dan anak-anak yang sedang membersihkan halaman kelasnya. Aku melihat dua anak yang bertingkah konyol.
“grrrrrr” “argggghhhh” begitu desisan muridku kepada temannya yang satu lagi. Sontak sang teman pun menjawab dengan desisan disertai gerakan tangan yang menyerupai cakaran. Mereka membentuk formasi seperti hendak bertengkar dan beradu fisik. Tak lupa desisan aneh yang selalu keluar dari mulut mereka. Rupanya mereka bukan hendak bertengkar, namun mereka sedang menirukan gerakan khas dari sebuah sinetron yang tayang tiap malam.

Tadi ketika berjalan kekantor sempat kulihat beberapa muridku bertingkah yang sama, bahkan ada yang memakai kuku panjang palsu yang terbuat dari plastik dan ada juga yang memakai gigi plastik lengkap dengan taringnya yang panjang. Jika mereka memakai keduanya ditambah gerakan-gerakan akting dengan desisan aneh, lengkap sudah murid-muridku ini seperti tokoh yang sedang ngetrend saat ini di televisi. Adegan tokoh-tokoh dalam tayangan tersebutlah yang “menginspirasi” murid-muridku bertingkah dan berakting sedikit norak. Geli. Sepintas itu yang kurasakan. Melihat tingkah konyol dan wajah innocent anak-anak ini merupakan hiburan tersendiri bagiku. Tingkah ini sering menyisakan ingatan ketika sedang tidak bersama mereka dan akhirnya membuatku tertawa sendiri. Namun geli kali ini menyisakan perasaan miris dan cemas. Jika aku amati lebih dalam lagi, mereka sudah berfantasi menjadi tokoh idola di sinetron nan murahan tersebut dan menganggap teman-teman disekitarnya pun dengan tokoh-tokoh lainnya yang juga ada dalam sinetron tersebut. 

Aku lumayan sering berkunjung kerumah muridku diwaktu senggang dan akupun menyimpulkan bahwa begitulah selera pasar pada saat ini: tontonan kejar tayang dimana kejadian dalam setiap adegannya selalu menyuguhkan irasionalitas dan pesan moral yang pendek. 

hari gini masih ada ya yang menyukai sinetron tersebut?” batinku. Akupun memaklumi karena mungkin saja daerah pengabdianku selama setahun ini jauh dari informasi dan berita terkini dikarenakan letaknya yang lumayan agak terpelosok. Namun hipotesisku ini sedikit kuralat karena aku juga menemukan kasus yang sama didaerah yang menurutku sudah lumayan maju. Jika didaerah penempatan, aku menemukan bahwa yang menyukai sinetron tersebut umumnya adalah anak-anak dan para orang tua, ternyata didaerah lainnya aku menemukan data baru: bahwa bukan cuma kalangan anak-anak dan orangtua saja yang menyukai tayangan irrasional tersebut, namun juga kalangan yang menurut ekspektasiku tidak akan menyukai sinteron berbelit-belit.

Selera pasar. Selera pasar akan menaikkan rating dari suatu tayangan yang menimbulkan keuntungan bagi produsen tayangan tersebut. Terkadang para produsen sinetron pun begitu pintar mencari celah untuk membentuk selera pasar. Produsen dan penikmat sinetron. Entah yang mana yang lebih berpengaruh lebih besar dalam membentuk selera pasar. Sinetron dengan minim pesan dengan maksud meraih keuntungan yang banyak. Sinetron ini terus-terusan diproduksi dan dihidangkan kepada para pencinta sinetron yang ada di negeri ini. Rating yang tinggi membuat mereka semakin merajalela membuat episode tambahan yang semakin tidak masuk akal. Siklus ini berlanjut bak lingkaran tanpa sudut. 

“Grrrrhhhhhhhhh”
“Arggghhhhhhhhh”

Desisan murid-muridku menghentikan lamunanku. Bel tanda berbaris berbunyi. Murid-muridku bergegas menuju lapangan. Tak lupa desisan dan atribut kuku dan gigi plastik. Ah, Entah siapa yang harus dipersalahkan, produsen sinetron ini? para pengawas tayangan televisi? Atau orangtua mereka???

#ODOP 2

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS