RSS

MencintaiNya Memerdekakan

Sejak dulu saya adalah penganut faham kebebasan dan kemerdekaan dan suka sekali dengan yang namanya ketidakterikatan. Sepertinya kata merdeka itu wah banget, bebas mau melakukan apa saja yang dimau tanpa cemas memikirkan keterikatan-keterikatan sosial yang dibuat rumit dalam peraturan-peraturan formal dan mengikat.

Dulu, saya suka memikirkan makna merdeka ini menurut definisi pribadi. Merdeka menurut saya pribadi adalah tidak terikat dengan apapun. Tidak terikat dengan rasa apapun dan tidak terikat dengan hal-hal yang mengikat. Tapi setelah dipikir pikir, apa benar manusia memang tidak terikat dengan apapun termasuk dengan hal yang dibutuhkannya?.

Makna ketidakterikatan saja sudah menjadi kabur bagi saya. Ia menjadi terikat dengan ketidakterikatan. Ia menjadi tidak merdeka dengan kemerdekannya. Ia menjadi terpaut dengan ketidakterpautannya. Jadi apakah memang manusia ini bisa merdeka sepenuhnya?.

Menjadi Manusia pada prinsipnya adalah merdeka, merdeka dalam artian bebas memilih apa saja karena dibekali akal oleh Yang Kuasa. Tidak seperti Ayam yang terikat dengan menjadi binatang Ayam. Lah kalau begitu manusia bisa bebas dong menjadi bukan manusia?wkwkwk (ngawur mah ini) Bukaaan. Manusia bisa bebas menentukan mau menjadi seperti apa yang dimau. Tapi sebebas-bebasnya pilihan tersebut, ia akan menjadi terikat dengan pilihan yang telah diputuskan tersebut. (opo tho mbakyu, ngomonge mbulet wae dari tadiπŸ˜…πŸ˜†).

Coba, manusia ketika marah kepada seseorang, bebas mau merasakan apa saja. Bebas mau memilih tidak memaafkan, dendam, balas memarahi atau malah cuek. Tapi ternyata begini, kita punya konsekuensi dari kebebasan tersebut. Misal, ketika kita memutuskan untuk marah atau dendam, maka kita akan diikat oleh perasaan tersebut yang pada akhirnya malah membuat kita tidak bebas dan dikendalikan oleh perasaan dendam tersebut.

Contoh lain, Ketika kita bebas makan sepuasnya, kita terikat dengan hawa nafsu.Ketika bebas berbelanja berapapun, kapanpun, dan berbelanja apapun, kita terikat dengan kepemilikan. Ketika kita bebas melakukan suatu hal yang disuka, suatu ketika kita akan jenuh. Nah, semua rasa kebebasan tersebut akan bermuara kepada rasa bosan. Ketika mendapat kebebasan jalan-jalan, kita terikat dengan yang namanya uang, dokumen-dokumen pribadi, dan perlengkapan jalan-jalan.

Ehmmm, itu hasil perenungan saya lo selama menjadi galau dulu. Sekarang saya menemukan nyanyi Maher Zain yang berjudul I love You. Katanya begini ni dalam salah satu liriknya how Your love has set me free and make me strong. You disini maksudnya untuk Tuhan.

Itu lirik lagu tersebut lama lo saya pikir dan rasakan. Nafsu saya bicara: Gimana mau bebas dengan Dia, wong dengan begitu kita udah diikat untuk sholat lima waktu, wong dengan begitu kita dikat untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya.

Ehehehe, itu dulu ya pemirsah, pikiran ngawur bedebah saya. Ternyata tuntutan sholatnya dan syariat-syariat yang harus kita jalankan itu adalah bahasa Cinta-Nya kepada kita. Maka Dia meminta kita melakukannya dengan segenap cinta dan bukan sekedar menjalankan kewajiban. Maka ketika kita melakukannya dengan Cinta, maka kata harus berubah menjadi butuh. Dan ketika kita mencintaiNya, maka semua penghambaan pada yang fana akan hilang, berganti tidak terikat dan bebas dari rasa kepemlikian kepada yang fana (tapi iniiii sulitttt sekaliiii bagi saya yang maqomnya belum kemana-mana)

Lalu apakah tuntunan syariah yang ditetapkann olehNya tersebut akan mengikat kita?. Ohoho, justru itu akan memperkuat rasa cinta kita pada Nya. Pada Dia Yang Maha Pencinta dan Maha Pengasih.

Dulu kadang saya menganggap ritual ibadah ini cuma untuk menambah pundi pundi pahala. Ternyata Tuhan memang Maha Cinta, dia mempunyai maksud untuk kita lewat ritual ritual yang mesti dijalankan oleh manusia. Selain pengikat rasa CintaNya dengan makhlukNya, sholat ini membuat makhluk yang fana ini bisa istiqomah dan disiplin dalam mengelola waktu yang diberikanNya sehingga bisa disiplin dan istiqomah dalam menjalankan tugas-tugas keduniawian. Puasa dengan waktu yang telah ditentukan juga membuat manusia bisa lebih disiplin dan belajar tidak mencintai yang fana seperti makan minum dll (dalam bahasa tasawuf puasa adalah belajar menyifati diri dengan sifat yang berlawanan dengan diri kita, yaitu sifat yang tidak membutuhkan, Al Ghaniy, yakni sifat Alloh semata) aih Alloh maha romantis kanπŸ’

Lantas apa hubungannya dengan rasa merdeka? Saya pernah membaca status Quraish Shihab yang berbunyi Hati kita adalah tempat bersemayam Allah, maka jangan taruh hal-hal yang tidak disukai Allah dihati kita

Wuihh, makjleb banget.... sepanjang pikiran saya yang singkat dan dangkal ini, hal hal yang tidak disukai Alloh adalah: benci, dendam, dan penyakit hati lainnya, juga nafsu jelek yang tidak disukainya. Kenapa tidak boleh? Karena jika kita menaruh hal-hal diatas, maka dendam, benci, iri, dan nafsu jelek lainnya akan menjadi raja dihati kita sehingga hati tidak merdeka dan akan menutupi nafsu baik. Maka Taruhlah Alloh dan yang disukaiNya dihati, karena dengan demikian akan memerdekakan kita.

Coba, kalau sendalnya hilang, kita ikhlaskan saja,kita tidak sakit hati, kan hati jadi lapang, dengan demikian hatimu merdeka. Maka saya sedang mencoba belajar dan ternyata memang sulit, taruh sesuatu yang fana hanya ditangan saja, jangan dimasukin kehati, karena yang fana akan segera hilang. Kita selalu dan pasti akan menuju Yang Maha Kekal: Alloh Yang Maha Cinta. 

*Pengingat diri di #3 Ramadhan
Semoga kita selalu dalam dekapan cintaNYAπŸ˜πŸ’—

   Berikut saya tambahkan lirik Maher Zain ya ^^. 

Gambar diambil dari google

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tafakur Waktu (bag 2-selesai)


Hidup ini dibiarkan mengalir sajabegitu kata beberapa orang yang sering saya dengar. Hmmm...kalau dipikirkan sih memang waktu itu mengalir, setiap detiknya tidak ada yang abadi, tapi apakah lantas kehidupan disamakan dengan waktu? Dibiarkan mengalir aja?.

Ibu saya pernah mengejek motto Hidup ini dibiarkan mengalir sajaini ketika jargon ini meluncur dari mulut sepupu saya. Ibu saya beranggapan, kalau hidup dibiarkan mengalir ya habislah dia, ga ada yang nyangkut. Mending air sungai, mengalir menuju lautan, jelas tujuannya. Lha kalau kehidupan manusia mau dibiarkan mengalir kemana? Sementara waktunya telah semakin sedikit karena dibiarkan mengalir terus. Makjleb!😱

Jargon ini memang masih banyak penganutnya, saya mungkin dulu juga pernah memiliki jargon ini walau masih setengah-setengah (kagak ikhlas dikatakan pengikut penuh, wkwk :P). Ternyata prinsip ini juga dianut oleh bagi sebagian mereka yang pacaran namun belum bisa menentukan arah hubungannya udahlah, jalanin saja dulubegitu kira-kira. Lha kalau menjani saja tanpa arah bukannya itu kesia-siaan belaka?.

Ibarat jalan-jalan ke suatu daerah yang sudah lama kita impikan dan sekarang mendapat kesempatan untuk mengunjunginya (mungkin diberi esempatan untuk pertama dan terakhir kalinya). Ga ingin kan perjalanan kita sia-sia berlalu saja, nah makanya kita sudah mencari info dulu sebelum bepergian: objek wisata yang terdekat dan menarik dimana saja, berapa keuangan yang diperlukan, mau menginap di hotel mana. Semua perjalanan, Backpaker dan perjalanan mewah sepertinya memang harus ada planning yang jelas walau nanti disesuaikan dengan kondisinya.

Setiap penciptaan menurut saya mempunyai tujuan yang jelas dan telah ditakdirkan Tuhan. Hanya saja, terkadang Tuhan suka bermain-bermain dengan kita selaku manusia, Dia membiarkan kita kebingunan mencari arah dan tujuan hidup kita walau sudah dijelaskan dalam Al-Quran bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah (mengabdi) kepadaNya yang diamanatkandalam tugas kita sebagai Khalifah di muka bumi ini.  Tugas kita ini meliputi tugas terhadap diri sendiri, tugas terhadap keluarga, tugas terhadap lingkungan sosial, tugas terhadap alam. Semua lengkap dalam Al Quran.

Tapi sungguh, dulu saya kesulitan menemukan makna hidup yang singkat ini. Saya tahu bahwa semuanya akan berakhir di Yang Maha Kekal. Tapi sungguh dulu saya pernah galau, bertaya tanya kepada diri sendiri Untuk apa kita hidup toh akhirnya mati? Buat apa kita terlarut dalam kesenangan kalau toh pada akhirnya kita tidak terus-terusan berada di dalamnya? Lalu apa esensi kehadiran manusia didunia kalau pada akhirnya binasa (mati)?.

Ehmmm kalau mengingat itu dulu, wkwk, ternyata masa muda saya penuh kegalauan juga ternyata. Itu terjadi ketika saya mahasiswa. Bukan karena saya yang muda ini tidak banyak kegiatan dikampus. Bukan karena saya yang muda dulu tidak punya banyak teman. Bukan karena saya yang muda dulu ini apalah apalah. Saya yang muda dulu ini (sekarang semoga masih muda, cieee maksa) punya banyak kegiatan kok dikampus dan punya banyak teman, namun selalu pertanyaan tersebut berkeliaran dikepala saya. 

Pernah dulu saking bosannya, saya jalan-jalan sendiri ke Kaliurang, memasuki kampung penduduk, dan bertemu dengan mbah mbah yang sudah tua. Mbah ini kelihatan nyaman sekali dengan kehidupannya: bertani, menjemur dedaunan, dan melakukan pekerjaan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Saya yang muda dan galau ini ngobrol ngobrol panjang dengan mbah dan main kerumahnya. Disana saya sampai seharian. Itu saja lantas saya pulang dengan tenang dan damai. Namun sungguh saya belum menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya.

Saya merasa mulai tercerahkan ketika membantu korban erupsi Merapi. Bahagia rasanya menolong mereka. Bahagia rasanya dapat membuat anak-anak ini tertawa. Ah ternyata makna hidup bagi saya adalah sederhana: bermanfaat. Semoga ya ^_^.  Sekarang saya menambahkan sedikit semoga bermanfaat dalam kebaikan. Tambahan lagi Semoga bermanfaat dalam kebaikan karena Alloh dan untuk Alloh. πŸ˜‡πŸ’“

*nasehat untuk diri sendiri, di # 2 Ramadhan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tafakur Tentang Waktu (Bag 1)

Beberapa pekan lalu, saya membaca sebuah kolom di harian Republika yang lumayan membuat saya kembali termenung memikirkan esensi waktu. Berikut kesimpulan yang saya rangkum:  “Setiap hari yang kita lewati adalah gabungan jam, setiap jam yang kita lalui adalah gabungan menit dan setiap menit adalah kumpulan detik. Detik-detik yang kita lewati nantinya akan menjelma lemari di akhirat kelak yang bisa kita buka untuk melihat isinya. Nah bagaimana isinya nanti tergantung bagaimana kita mengisi detik-detik kehidupan kita di dunia. Apakah lemari kita ada isinya atau malah kosong”.

Kolom ini menjadi pengingat bagi saya, membuat saya merenung, dan bertanya kepada diri sudah berapa lama hidup di dunia? Apa yang sudah dilakukan dalam tempo yang sudah lama itu?. Sungguh saya tak mampu menjawabnya, hanya terbayang detik-detik yang dilewati dengan kesia-siaan menjelma lemari sedikit isi atau bahkan kosong melompong. Duh gusti, maafkan saya.πŸ˜–πŸ˜’

Artikel ini kembali saya bacakan kepada ibu saya karena memang terkadang kami hobi saling menceritakan bacaan apa yang dirasa bermanfaat-. Lantas ketika saya kelihatan malas seharian, ibu saya bertanya, sudah diisi lemarinya?” hehe, duhhh.

Mengenai waktu, saya pernah bertanya kepada teman saya, saya anggap pertanyaan bodoh sih. Begini pertanyaan saya Mas, nanti kalau orang-orang di surga apa nggak bosan tu kerjaannya senang-senang terus?” jawaban teman saya itu santai namun cukup logis untuk seorang saya yang mencari dan menyukai kelogisan fana. Begini jawabnya:  Waktu itu kan ciptaan Tuhan, sama fananya dengan manusia. Bosan itu juga rasa yang fana. Kesemuanya ada di dunia fana.  Jadi jangan berfikir dengan logika fana. Semua rasa nanti (diakhirat) tidak bakal ada yang fana.

Penjelasan tentang lemari waktu dan kefanaan waktu yang dijelaskan oleh teman saya mungkin adalah kelogisan yang bisa saya terima menurut ukuran saya yang percaya bahwa kehidupan akhirat itu ada. Sungguh dulu diri ini sering bertanya sendiri dan kadang lumayan bikin frustasi (sekarang isnyalloh saya sudah menemukan jawabannya sedikit, hehe): Untuk apa kita hidup toh akhirnya mati? Buat apa kita terlarut dalam kesenangan kalau toh pada akhirnya kita tidak terus-terusan berada di dalamnya? Lalu apa esensi kehadiran manusia didunia kalau pada akhirnya binasa (mati)?.

gambar dari google

Waktu adalah fana. Ia hadir dalam hitungan jam, detik dan menit karena sunatullah, karena memang ketentuan Tuhan. Ia dihadirkan Tuhan untuk menjadi teman sekaligus musuh bagi manusia. Menjadi teman, karena digunakan untuk hal yang bermanfaat. Menjadi Musuh manusia karena dihabiskan dalam kesia-siaan. Kesia-siaan disini menurut saya tergantung definisi pribadi dan tidak bisa distandardisasi. Tidur yang terlalu banyak menurut saya adalah sia-sia, sementara beberapa orang membutuhkannya karena menghemat energi untuk bekerja keras nantinya. Menonton tayangan gosip disatu sisi adalah hal yang sia-sia, tapi di sisi lainnya bermanfaat agar kita bisa mempelajari tipe-tipe manusia (maksa mah kalau ini! πŸ˜…).  

Kita diberikan waktu sama banyak oleh Tuhan, yakni 24 jam, terlepas dari jatah umur yang telah ditetapkan. Dari 24 jam itu sekitar sepertiganya sudah habis oleh tidur, belum lagi waktu untuk bermalas-malasan, menonton siaran TV yang kurang berguna, ngobrol ngalor ngidul, Menghabiskan waktu dengan sosmed, hanya untuk scroll dan membaca status orang-orang, lalu beberapa saat kemudian, buka sosmed lagi, membaca status yang tadi lagi (ini problem kecanduan sosmed pada banyak orang terlebih bagi saya!). beberapa kegiatan tersebut saya sebut sia-sia, mungkin bagi sebagian yang lain tidak begitu, karena mungkin menemukan kebermanfaatan, seperti mengomentari status di sosmed yang membuat tali silaturrahim kembali terjalin atau membaca tulisan yang inspiratif. Nah dari jatah waktu yang sama tersebut, ternyata kebermanfaatan waktu setiap manusia tidaklah sama. Intinya adalah berbeda usaha untuk mengisi lemari-lemari setiap detik kita.

Saya seringkali salut dalam hati terhadap orang-orang yang produktif dalam karya dan kebaikan versi saya. Salah satu ulama yang saya kagumi adalah Prof. Quraish Shihab. Membaca biografinya dan deretan panjang karyanya membuat saya seringkali bertanya, ini Prof berapa jam tidurnya dalam sehari? Dengan karya yang sebanyak ini, pasti banyak sekali bacaannya. Pasti setiap detiknya begitu berharga bagi beliau. Duh sungguh penuh lemari-lemari detiknya. Namun sungguh, ulama-ulama yang ilmunya sangat tinggi adalah orang-orang yang tidurnya hanya sebentar saja seperti kisah Imam Syafii yang diprotes oleh putri Imam Ahmad karena beliau beranggapan berbaringnya Imam Syafii adalah tidur, namun ternyata dipergunakan untuk menelaah Kitab Allah dan Sunnah Rasul SAW.

Saya pernah ke dokter yang waktunya menurut saya sangat berharga. Bayangkan, 3 bulan antri di layanan BPJS  sebuah RS hanya untuk mendapatkan pelayanan dari sang dokter sekitar 10 menit saja. Kalau tetap mau bertemu dan mendapat layanannya, silahkan mendaftar di Klinik lain non asuransi yang tentu mahal. Kata Ibu saya, Dokter tersebut sudah tidak lagi berada pada tataran bekerja untuk mencari uang, yang dia butuhkan hanyalah waktu agar bagaimana ilmunya tetap berkembang dan bagaimana kehidupannya bermanfaat untuk kemanusiaan.

Tapi ngomong-ngomong dari tadi saya kok membicarakan orang-orang yang melampauai batassaja ya. Mereka kan memang udah dari sononyabegitu. Ohohoho, menuliskan Prof. Quraish Shihab, Imam Syafii dan Sang Dokter tersebut hanya untuk jadi patokan dan jadi bahan belajar kok, bukan lantas orang-orang yang pekerjaannya kelihatan kecil dan remeh temehtidak dianggap. Bukan. Coba Rumah Sakit yang digunakan Dokter dibangun oleh tenaga-tenaga yang bekerja dengan memeras keringat dan membanting tulang, berusaha mencari nafkah halal untuk pendidikan anak-anaknya. Buku Quraish Shihab, sampai ke kita dan terbaca karena ada banyak aktor yang dianggap hanya kecil. Bukan kecilnya, tapi seberapa manfaatnya, toh pekerjaan besar selalu dimulai dari pekerjaan kecil dan remeh, toh dibalik aktor yang besar terdapat banyak aktor-aktor yang sudah bekerja keras. Jadi tugas kita hanya memastikan setiap detik lemari diisi dengan hal yang berguna.. Urusan isinya, serahan saja kepada Gusti Alloh. Bukankah pekerjaan yang diawali dengan niat Lillahitaala dan keikhlasan akan berbuah kebaikan? Bukankan Tuhan Akan membalas setiap kebaikan walau sebesar Biji Zarrah?

Intinya; Lillahitaala, Berbuatlah karena berharap Ridho Alloh, karena itu yang paling tinggi dari apapun. Dia. Muara dari semua kebaikanπŸ˜πŸ’›.

*nasehat untuk diri sendiri di #1 Ramadhan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menjenguk Berastagi yang Rupawan

Potongan surga di Berastagi

Ekspektasiku diawal, ditambah testimoni dari kawanku, mengunjungi Danau Toba sama seperti mengunjungi Danau Singkarak yang dekat denganrumahku, malahan Danau Singakarak lebih bagus, begitu komentarnya. Testimoni ini membentuk ekspektasiku sehingga aku tak berkeinginan banyak untuk mengunjungi Danau Toba ini.

Namun, mendapatkan teman perjalanan yang totalitas dalam berwisata adalah berkah tersendiri. Suci, teman fasilitatatorku di Sumut yang mengajak aku melihat dari sisi yang lain sehingga Danau Toba bagiku adalah potongan surga.

Medan terkenal dengan bisnya yang melaju dengan kecepatan yang luar biasa dan menyajikan “service” tak biasa: yakni penumpang bisa duduk di atap bis. Bayangkan, jika kamu duduk diatas dan bis melaju dengan cepat sekali, seru sekali ya!! merasakan angin yang menerpa wajahmu, menerbangkan sisi jilbabmu dan itu membuatku bahagia dan merdeka.Namun bayangan kebebasan ini harus aku singkirkan dulu demi melihat si Rupawan Toba dari sisi yang tak bisa dijangkau oleh bis ini. Jadilah kami naik motor mendaki selama lebih kurang 2,5 jam melalui jalan menanjak dan berliku serta banyak lubang.

Destinasi pertama kami yaitu Rumah Ibadah umat Budha Lumbini. Bentuk bangunan dan warnanya memang mirip sekali dengan Pagoda yang ada di Thailand sehingga tak heran orang menyebutnya juga dengan pagoda Lumbini. Kami berkunjung bukan ketika hari libur dan ketika tidak ada aktivitas ibadah sehingga kuil ini lumayan sepi. Letaknya yang berada di areal perkebunan dan jauh dari keramaian membuat warnanya yang kuning keemasan semakin memancarkan auranya tersendiri. Begitu megah ditengah keheningan yang hijau. Menjulang agung terlihat dari kejauhan.

Untuk dapat menikmati pagoda lumbini, kita harus melewati pemeriksaan security terlebih dahulu dan setelah itu kita bisa masuk tanpa membayar tiket. Disambut oleh patung gadjah putih dikedua sisi gerbang masuk, seolah-olah semakin menegaskan bahwa Lumbini ini adalah saudaranya Pagoda di Thailand sana. Di dalam pagoda ini kita akan menemukan beberapa patung Budha dan dewi-dewi menurut kepercayaan mereka juga dupa-dupa roh yang abadi dalam nyala api lilin yang terjaga.


Tidak banyak yang bisa saya jelaskan tentang detail isi Rumah Ibadah Lumbini ini karena saya memang tidak tahu banyak mengenai tradisi dan makna simbol yang ada didalamnya. Makanya, liat potonya saja ya berikut saya yang juga nampang ^^.



Melaju satu jam lagi untuk sampai di air Terjun Sipiso-Piso di Kabanjahe, Kabupaten Karo, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan perbukitan dan lembah yang asri lagi hijau. Jalanan yang mulus namun tidak terlalu ramai membuat bis-bis dan mobil yang lewat dapat melaju kencang dan bebas. Disini kami juga menemukan beberapa pondok-pondok kecil yang menjual Jeruk Berastagi yang aku yakin pasti manis. Jika musim panen, Jeruk-jeruk ini akan sampai ke Provinsi tetangga dan dapat dipastikan akan laris. Sayur-sayuran yang dijual disekitar wilayah Sumatera Utara juga berasal dari daerah sini seperti lobak, tomat, cabe dan jenis sayuran lainnya.  

Karena disini juga dihuni oleh mayoritas penduduk karo yang beragam kepercayaan namun didominasi oleh penduduk beragama Protestan dan Katolik, maka kami sering melewati Gereja dengan berbagai kategori seperti : Gereja Bethel, Gereja Injil, gereja Pantekosta dan beberapa yang aku lupa, aku juga tidak tahu benar perbedaan gereja ini sesuai dengan namanya. Sepanjang perjalanan juga ada beberapa warung makan berbahan Anjing (B1) dan Babi (B2).

Lumayan jauh memang perjalanan kami dan hal itu membuatku merasa seperti anak motor tanpa genk :P. Namun memacu motor kesini tak akan sia-sia. Air terjun dengan ketinggian sekitar 120 meter ini bagai lintasan yang membelah lembah Berastagi nan hijau. Untuk menuju dasar air terjun ini terdapat tangga yang terdiri dari sekitar 200an anak tangga. Mengingat waktu kami tidak turun kedasar si piso-piso ini.

Sipiso-Piso nan rancak bana

Pose terwakwao, sori ye agak alay dikit
Menghadap ke sisi lainnya, aku seperti melihat potongan surga, danau Toba dari ketinggian yang bersisi dengan lembah hijau nan eksotis. Dibawah sana terdapat lembah asri dengan beberapa perumahan penduduk. Untuk mencapai tepian danau, kita bisa melewati jalanan berliku yang melewati pinggang perbukitan. Sepertinya bersepeda kebawah sana akan sangat menyenangkan dengan mata yang tak jemu menikmati keasrian sekitar.

Ah ekspektasiku akan Toba yang “biasa-biasa aja” sirna sudah. Its very very Wowww! Suci yang sudah beberapa kali melihat Toba, mengakui bahwa di Kabanjahe adalah sisi terbaik untuk melihat keindahan Toba. Duduk diketinggian dan menatap kebawah sana rasanya menenangkan sekali. tak mau pulang.cukup lama kami duduk dan menatap ke arah Toba yang rupawan.
Eh tiba-tiba terdengar gemuruh yang lumayan besar, pertanda disuruh beranjak, hihi.


Bersama guide yang totalitas, Suci ^^

Hujan melanda cukup deras saat kami meninggalkan Danau Toba dengan segala kerupawanannya. Namun sayang hanya ada satu mantel celana –dulu aku menamakannya mantel egois karena penumpang yang dibelakang tak bisa sedikitpun numpang berteduh- dan itu berarti aku yang merangkap sopir  yang akan memakainya. Hujan deras ini baru berhenti setelah kami keluar dari daerah Kabanjahe yang berjarak sekitar 1 jam. Aih lumayan membuat Suci menggigil dan tangaku jadi keriput pucat.

Sekitar pukul empat lebih, kami menyambangi pemandian air panas Sidebu-Debu dengan warna toska yang bergradasi menandakan perbedaan kandungan belerangnya. Pemandian ini terletak dikaki bukit yang lumayan lengang. Melihat kondisi pemandian yang kurang terawat sepertinya tidak banyak pengunjung yang datang kesini. Menurut informasi yang kami peroleh di Internet setelahnya, pemandian Sidebu-Debu ini adalah pemandian utama yang tidak dikelola ala pemanndian komersil lainnya sehingga tampil “apa adanya” dengan fasilitas kamar ganti yang tinggal puing menandakan pernah jaya pada zamannya. Sepertinya ada beberapa pemandian air panas lain yang dikelola lebih komersil disekitar sini. Namun, ini sudah sangat luas untuk kami berdua.

Hal yang paling membuat senang sekaligus agak cemas adalah suasana yang lengang. Senang karena berasa menjadi peguasa pemandian air panas yang begitu luasnya laksana hamparan petakan sawah. Cemas karena suasana pemandian yang dipeluk oleh pegunungan ini berkabut selepas hujan –juga dua yang ada dibeberapa titik- sehingga menambah kesan magis. Ah kita (tepatnya aku saja ding) jadi berasa dua bidadari terdampar di pemandian bumi dan takut ada Jaka Tarub ala Medan menyembunyikan pakaian ganti kami sehingga kami pulang ke Kayangan dengan pakaian basah. :P :D

Penguasa Sidebu-Debu selama 30 menit :P

Sumur penghasil air panas yang mengalie ke kolam-kolam

Mencebur di pemandian ini rasanya lelah karena perjalanan kami yang disertai hujan ikut larut terbawa arus air panas dan lenyap di ujung sana. Aku merasa ingin membekukan waktu sebentar saja agar bisa berendam barang satu jam lagi. Merasakan panasnya air melemaskan ototku yang kaku dan meluruhkan daki yang bertumpuk dikulit karena perjalanan 2 minggu yang telah kulewati.

Sayang, waktu berlalu begitu cepat dan kami harus memacu motor ke arah Kota Medan sekitar 2 jam lagi. Puas rasanya bisa berkelana menikmati tempat eksotis di Berastagi.Tak peduli wajahku belang dan tangaku yang menjadi legam karenanya.

the last :P



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS