Agustusan sekarang aku memutuskan untuk pulang kerumah orangtuaku.
Temanku, Raka, pun demikian. Tapi tidak baginya dengan ideku untuk
malas-malasan dihari yang kuanggap libur ini. Ia mengajakku untuk mengikuti
uapacara. “Merasakan secuil memoar perjalanan panjang bangsa kita” begitulah
alasan sok pejuangnya. Betapa menyebalkan.
Paginya, tiba-tiba, ia menarikku dalam barisan pemuda penabuh talempong, alat
musik khas daerahku, yang diwajibkan ikut dalam pawai ini. Aku pikir, kami akan
berangkat ke lapangan setelah barisan pawai ini diperkirakan sampai, seperti
kebanyakan orang. Tentu saja aku kesal karena selain capek juga akan membuat
aku malu, diperhatikan orang sekampung yang suka mengomentari berbagai hal. Ada
rombongan ibu-ibu PKK. Ibuku tentu berada disana. Ada barisan pelajar yang
berada didepan barisan para Veteran. Pawai panjang ini dibuka oleh pasukan
pengibar bendera yang berusaha berjalan tegak diikuti grup drumband dari
berbagai sekolah. Rombongan ini berarak menuju lapangan upacara yang berjarak
sekitar satu kilometer dari tempat pawai dimulai. Ini adalah kegiatan awal
upacara bendera agustusan dikampungku yang telah berjalan sejak beberapa tahun
lalu. Disepanjang jalan, begitu banyak masyarakat yang menonton dan lalu ikut
dibelakang rombongan pawai menuju lapangan uapacara.
Sesampainya dilapangan, rombongan pawai langsung menuju ketempat
yang telah disediakan. Ada berbagai plang identitas yang telah dipancang
disekitar lapangan agar para peserta pawai dapat berbaris sesuai dengan
kelompoknya. Kulihat plang setiap sekolah, plang PGRI, dan Plang yang
bertulikan Veteran. Aku dan Raka tentu saja berada dibarisan Pemuda bercampur
dengan para penabuh talempong.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, upacara dimulai dengan khidmat.
Pasukan pengibar bendera melangkah dengan gagah dan tegap menyisakan bunyi
berderap seragam membuat seluruh sorot mata tertuju pada mereka. Pasukan
delapan mulai mengambil posisi semakin mendekati tiang bendera dan mulai
mengikatkan satu persatu tali sang saka tersebut.
“BENDERA SIAP” Teriak lantang salah satu dari mereka.
Segerapa Komandan upacara memberikan komando agar kami mengambil
sikap hormat kepada Bendera yang akan segera digerek. Lagu Indonesia Raya
dinyanyikan paduan suara bergema dari speaker yang terdapat disetiap
sudut lapangan. Kutatap Bendera yang merangkak perlahan itu. Haru, Bangga,
dan damai. Perasaan ini membanjiri sekujur tubuhku secara tiba-tiba.
Menghangatkan perasaanku. Bendera yang mulai meninggi tak luput dari
pandanganku. Namun kekhusyukanku lenyap seketika mendengar lagu Indonesia Raya
yang dinyanyikan dengan sempurna bercampur lagu-lagu lain yang berasal dari
penjaja es diluar lapangan. Suara itu ditingkahi oleh suara-suara lain:
candaan orang-orang yang tak ikut upacara suara-suara anak kecil
kegirangan dan suara-suara lain yang sumbernya berasal dari peserta upacara
sendiri.Huh! Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya.
“TEGAKKKK GRAAAKKKK"
Komandan upacara memberi instruksi. Kulirik Raka. Sambil
menurunkan tangannya, ia menghela napas panjang sambil menutup pelan kedua
kelopak matanya. Begitu menghayati. Tapi kemudian ia bergumam sendiri. “Kenapa
petugas tidak menghentikan mereka sih”?. Maksudnya sudah jelas. Ia begitu benci
mendengar suara-suara ribut itu. Tapi bukankah itu
sudah biasa terjadi setiap upacara. Wajar kan mereka berjualan setiap ada
keramaian?
Upacara selesai. Komandan upacara membubarkan barisan. Semua
barisan yang sebelumnya rapi, berganti dengan kekacauan seketika. Seperti di
pasar. Hingar bingar. Semua orang bergegas melintasi lapangan. Ada yang menuju
warung-warung dadakan, ada yang menuju ke penjual minuman dipinggir jalan, dan
beberapa kulihat ada yang bersorak kegirangan ketika bertemu dengan teman lama,
melupakan sang bendera yang telah berkibar begitu saja. Perasaan khidmat yang
sempat kurasakan tadi pun lenyap bersama angin yang tak kelihatan . Lapangan
yang tadi pagi bersih, sekarang sudah berganti dengan tebaran sampah dimana-mana.
Plastik es, ampas tebu, sisa makanan, dan juga daun bungkus makanan. Raka juga
memperhatikannya. Lagi-lagi ia mengeluh. “Huh, dasar orang-orang ini!”
sungutnya.
****
“Ayo! Naik! Cepat, dikit lagi, ayo! Aaayo!”penonton menyemangati.
Aku tidak tahu apa yang terjadi diatas sana. Suara mereka bertalu-talu
ditelingaku. Tiba-tiba aku semakin merosot dan luruh dan akhirnya mendarat di
tanah. Kami harus berganti dengan kelompok lain.
Suasana sore ini riuh rendah. Ramai oleh teriakan penyemangat dan
suara tertawa. Grup Bang Amin yang terdiri dari tujuh orang lelaki gempal
berjuang menaiki batangan licin tersebut menggantikan kelompok kami yang masih
belum berhasil. Tubuh mereka bersimbah keringat dan berkubang oli. Demikian
pula halnya denganku. Siapa lagi yang berhasil memaksaku untuk mengikuti lomba
panjat pinang ini selain Raka. Heran. Kenapa sih aku selalu
tidak bisa menolaknya.
Penonton bersorak bak dikomando oleh seorang dirigen ketika
menyaksikan beberapa adegan lucu. Setelah beberapa kali merosot, berganti
personel akhirnya Kelompok Bang Aminlah yang berhasil terlebih dahulu sampai
kepuncak. Bang Idul yang badannya paling kecil melongo kebawah, mendengar
aspirasi temannya atas hadiah yang akan diambilnya. Sepedalah hadiah utama
panjat pinang kali ini. Sepeda itu dikelilingi oleh deterjen, Helm, Kaos
oblong, sepatu boot,
mie instan, uang ratusan beberapa lembar yang dibungkus plastik bening dan
hadiah lainnya. Panjat Pinang ini merupakan puncak perayaan hari kemerdekaan
dikampungku setelah upacara dan aneka pawai-pawaian.
Tibalah kembali giliran kami. Ini adalah kali kesekiannya kami
mencoba dan bergantian dengan grup rival. Penonton hening. Belum menemukan
adegan lucu yang membuat mereka berteriak dan tertawa. Joni yang berotot berada
pada posisi awal. Aku telah berada pada posisiku ketika Tora mencekram
lenganku. Huh!. Berat sekali. Dia bau keringat. Ia menginjak bahuku dengan
kasar. Seumur-umur, baru kali ini aku seperti ini. Raka sialan. Ia dengan
gembira menyambut ajakan Tora sewaktu pawai kemaren. Sekarang tiba-tiba ia
sudah bergayut dipinggangku. Napasnya keras tak beraturan. Ia tersenyum jahil
melirikku. Dia sih enak. Paling atas menurut strategi bodohnya itu. Aku hanya
bisa memeluk batangan ini sekuat tenaga. Menahan pijakan beberapa orang
diatasku. Juga menahan diriku agar tidak terpeleset.
Aku merasa semakin berat. Semakin melorot. Turun tak berdaya.
Kehabisan tenaga. Setelah merasa berpijak ditanah, aku menengadah. Ia,
Raka, duduk dipuncak itu, tangannya memegang erat bulatan kayu tempat hadiah
digantungkan. Teman seperjuanganku heboh menyuruh mengambil hadiah ini itu.
“Radio!, Helm! Jaket! Jam!”
Raka tak bergeming. Kelihatan mengatur napas. Lima menit…Sepuluh
menit…Penonton membisu. Bingung. Kenapa sih dia?.
Tiga belas menit….Peluh meluncur dari pelipisku. Delapan belas menit…Ada apa
ini?
Lalu ia bergerak. Perlahan mencabut bendera yang menancap pada
puncak tertinggi. Lalu mengacungkannya. Ada apa ini?. Apa dia sudah gila? hanya
menginginkan itu sementara kami hampir kehabisan nafas untuk mengantarkannya
keatas. Bendera itu?. Aku melotot tak percaya. Raka?
Kemudian ia melambaikanya. Ia melambaikan bendera itu ditengah
kebingungan penonton. Sayup-sayup, terdengar suaranya.
Bendera merah
putih
Bendera tanah
airku
Gagah dan jernih tampak
warnamu
Berkibarlah
dilangit yang biru.
Ia menyanyi ditengah kebisuan penonton. Mengibarkan benderanya.
Sekonyong-konyong aku mulai paham maksudnya. Hatiku berteriak ingin
mengikutinya. Tapi tidak bisa. Sudah lama aku tidak menyanyikannya.
“Hei! Jangan bengong! Ayo! Nggak bisa ya?”teriaknya dari atas.
“Ayo semangat! Ayo!!!..... Untuk Indonesia kita!”
Indonesia...
tanah airku
Tanah tumpah
darahku
Disanalah aku
berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia...
Samar, suara disekelilingku mengikutinya. Perlahan. Menjadi ramai,
Semua mengikutinya. Begitu khidmat dan khusuk. Haru, Bangga, dan damai
kembali menyelinapi perasaanku. Aku menarik napas panjang, Menutup mataku. Ah! apa sih yang
telah kuberikan untukmu Indonesiaku?.
Untuk
Bangsaku yang memiliki Indonesia
Hasil editan tulisan lama untuk
#ODOP4