Kehadiran anak-anak menandakan bahwa Tuhan belum bosan dengan
manusia –Rabindranath Tagor-
Tak bisakah kita menjadi seperti kanak-kanak
yang melupakan kesalahan orang lain atau kelompok lain?
Beberapa orang menganggap menjadi orang
dewasa memang rumit. Kita yang katanya telah “menerima kebenaran” akan
bertengkar menyalahkan orang lain yang kita anggap salah. Kita merasa paling
benar dan menyalah-nyalahkan orang lain, mengingat keburukannya yang terkadang
menjelma dalam bentuk gunjingan, dendam, sinis, dan sebagainya. Ternyata
menjadi orang dewasa yang menganggap diri paling benar itu memang paling susah.
Tuhan menciptakan anak-anak karena
memang punya maksud. Tak bisakah kita menangkap pesan itu dan belajar dari
mereka? Ohya, sekali lagi, menjadi orang dewasa itu memang sulit ternyata, kita
para dewasa ini sudah belajar kesana-kemari, baca buku sana sini, diskusi dan
debat panjang yang memakan waktu banyak, namun sering lupa ambil pelajaran dari
mereka para kanak-kanak.
Coba perhatikan sejenak. Mereka
bertengkar lalu berbaikan dan kembali
bermain tanpa ada dendam sedikitpun. Sesederhana itu tujuan mereka: bermain.
Lantas tak bisakah kita yang pandir ini meniru mereka: melupakah
kesalahan-kesalahan orang lain dan kelompok lain. Kembali asyik “bermain”
dengan mereka tanpa curiga dan dendam? Bukankah lebih asyik terlibat dalam
permainan ini ketimbang menghakimi satu sama lain? Jadilah “anak-anak dewasa”
yang tanpa dendam, jadilah “anak-anak dewasa” yang mudah melupakan kesalahan,
jadilah “kanak-kanak dewasa” yang berjiwa polos dan jalanilah permainan ini
karena memang hidup di dunia ini cuma permainan dan senda gurau belaka.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini,
selain dari main-main dan senda gurau belaka.....” (QS. Al-“An’am: 2)
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah
permainan dan senda gurau....” (QS. Muhammad: 1)
Catatan di #15 Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar