Masjid Sultan Maimoon tampak depan |
setiap awal tahun ibuku atau
bapakku akan mengganti kalender yang lama dan memajang kalender baru pada paku
yang tertancap, khusus disediakan dibeberapa titik di rumahku. Terkadang
kalender lama akan digulung dan dimasukkan ke gudang untuk suatu saat
diperlukan (untuk menyampul buku atau sebagai taplak) atau dibiarkan tergantung
dan lalu tertimbun kalender baru. Dahulu ketika masih kanak-kanak aku suka
membolak balik kalender-kalender tersebut, ingin melihat gambar-gambar yang
tertera pada halaman-halaman berikutnya. Yang paling aku sukai adalah gambar
pemandangan dan gambar masjid yang ada di Indonesia –kalau sekarang, entah kenapa
banyak gambar orangnya dengan pose yang aneh-. Kegiatan ini juga masih sering
aku lakukan diawal tahun.
Aku suka melihat penjelasan
dimana lokasi poto diambil. Untuk gambar pemandangan, yang paling sering
kujumpai adalah adalah gambar Danau Toba, air terjun Niagara, Gunung Fuji di
Jepang, pemandangan bawah laut Wakatobi, Taj Mahal di India, gedung Opera
House, Tokyo Tower, Tembok Besar Cina dan sebagainya. Biasanya kalau gambar
pemandangan, lokasinya dicampur dalam dan luar Indonesia.
Poto ini diambil dari sisi gerbang, ketika akan sholat Jum'at |
Sedangkan untuk gambar masjid
biasanya akan nampang masjid-masjid yang terkenal saat itu, yaitu Masjid Sultan
Maimoon di Medan, Masjid Istiqlal Jakarta, dan tak ketinggalan masjid tua
Baiturrahman di Banda Aceh serta Masjid Kauman Jogjakarta. Paling sering memang
Masjid Sultan Maimoon dan Masjid Baiturrahman yang hampir selalu ada di kalender
manapun jika temanya adalah masjid. Mungkin jika Masjid Raya Sumbar dengan
arsitekturnya yang khas dulu sudah ada seperti sekarang, mungkin juga akan
menghiasi kalender-kalender di bumi Indonesia ini.
Ketika aku melihat Taj Mahal di
helaian kalender, aku selalu merasa bahwa si Pembuat Kalender salah memasukkan
kategorinya. Aku merasa bahwa seharusnya ia ada dalam kalender berkategori Masjid.
Aku merasa bahwa Taj Mahal ini adalah Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh
(memang mirip kan? Yah setidaknya warna cat, bentuk kubahnya dan juga kolam
yang ada di depan masjid). Namun beberapa tahun kemudian ketika SD, membaca di RPUL –kalau kalian tahu
RPUL, berarti kita seumuran,hehe- yang didalamnya terdapat penjelasan tujuh
keajaiban di dunia termasuk di dalamnya ada Taj Mahal di India, saya jadi Paham
kenapa Taj Mahal masuk kategori pemandangan (pemandangan disekitarnya bagus)
atau heritage dan bukan kategori Masjid walaupun katanya sekarang makam Taj
Mahal ini juga digunakan untuk tempat beribadah.
Dahulu (dahulu disini takarannya
adalah ketika aku SD) mungkin masjid-masjid megah sangat jarang ada di
Indonesia. Jikapun ada, mungkin tidak terlalu terekspos. Jika sekarang, hampir
disetiap tempat kita dapat menemukan masjid Megah bercorak Khas. Mungkin
pertumbuhan masjid megah ini juga sejalan dengan semakin boomingnya istilah “wisata religi”.
Ketika aku berkunjung ke Sumatera
Utara untuk pertama kalinya (yeah, akhirnya kesampaian juga, wkwk) aku dapat
melihat rupa masjid yang ada dalam kalender di rumahku. Oh, inilah dia, masjid yang
berkubah hitam itu. Mungkin bedanya antara dalam kalender dengan yang sekarang
adalah halaman depannya yang dulu adalah halaman rumput dan sekarang dikeramik
(atau mungkin poto diambil disisi lain
yang berumput). Ekspektasiku dahulu ketika melihat kalender-kalender tersebut, masjid
ini sangat besar dengan langit-langit kubah yang menjorok sedemikain rupa
sehingga terang benderang oleh cahaya matahari.
melihat detail dan kerumitan arsitektur Masjid ini, aku tak bisa membayangkan berapa dana untuk membangun Masjid ini saat itu. |
Masjid ini terdiri dari beberapa
pintu. Ketika memasukinya, kita harus melewati lorong -jika jum’atan,
lorong-lorong ini akan penuh sampai ke pintu- dan pintu lagi agar kita berada
di ruang utama. Masjid ini berkarpet empuk dan bersih dan juga terdapat mukena
yang tersedia cukup banyak dan juga bersih. Desain atapnya pun bisa dibilang
tua namun khas. Ah aku tak bisa menarasikan desainnya, liat saja gambarnye
ye...
Bagian atap Masjid Sultan Maimoon |
Memasuki bagian laki-laki dan perempuan Masjid ini dipisah oleh lorong bercorak khas |
Selain masjid Sultan Maimoon, aku
juga berkesempatan untuk menyambangi masjid tua Baiturrahman yang dulu aku
samakan dengan Taj Mahal. Konon masjid ini dibangun pada zaman Kesultanan Aceh
dan ketika terjadi tsunami tahun 2004 lalu, Masjid ini tetap kokoh walaupun
disekelilingnya habis -ada beberapa Masjid di Aceh yang demikian selain masjid
Baiturrahman ini-. Oh ya, sekedar info, Masjid Baiturrahman ini punya replika
yang ada di Austria dengan skala 1: 25.
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Naggroe Aceh Darussalam |
Mengunjungi masjid ini lebih
dramatis dibanding mengunjungi Masjid Sultan Maimoon Medan. Saking inginnya
melihat secara langsung masjid ini, aku yang janjian untuk bertemu anaknya
kakak temen uniku (wah kalau jalan-jalan begini, semua hubungan kerabat dan non
kerabat terpakai, termasuk hubungan rumit-rumit yang susah dijelaskan dalam
satu tarikan nafas begini) di tempat yang dekat dengan kostannya menolak. Mengawali jejak ke Banda Aceh, yang pertama
ingin kulakukan adalah menginjakkan kaki di Masjid ini, melihat secara langsung
masjid yang sering aku perhatikan dalam kalender ini. Walau resikonya aku harus
menggendong ransel dengan jarak yang lumayan jauh karena aku turun disisi yang
lain sedangkan sisi depan masjid ditutup bagian depannya karena sedang dalam
masa pembangunan payung seperti Masjid Madinah AlMunawaroh. Aih setiap
kesenangan akan lebih berarti jika melalui perjuangan, hehe.
Aku jadi membayangkan bagaimana kesejukan
lantai keramik masjid ini karena udara panas Banda Aceh ditambah beban yang
bercokol di punggung. Aku ingin menjejakkan punggungku di lantai keramiknya dan
merasakan dinginnya menghapus keringatku. Ahhh! ditambah angin dari kipas
angin. Perfect!. Namun, keinginan tinggal keinginan, setelah berjalan dan yah!
harus diakui aku kesasar sedikit, dan ketika memasuki masjid ini, tiba-tiba
saja aku kebelet buang air kecil level akhir. Ternyata hal yang kita inginkan bisa berubah ya dalam
sekejap. Tergantung kebutuhan,bhahaha.
Jika digambarkan dalam scene yang
cepat begini keadaanku:
Aku memasuki masjid. Aku
tiba-tiba kebelet.aku bertanya-tanya dimana lokasi toilet. Aku mau ke toilet
dan meninggalkan ransel. Setelah bertanya tentang keamanan barang akhirnya aku
membawa itu ransel ke toilet. Karena bingung aku bertanya lagi dimana
toilet.Ternyata toilet jauh diluar. Aku buru-buru berlari ke arah toilet dengan
ransel yang setia selalu. aku menemukan toilet (yeah! Akhirnya). Eh ternyata
itu tempat berwudhu laki-laki. Aku bertanya lagi dimana toilet perempuan. Aku
berjalan kearah toilet perempuan yang ada diujung. Aku memasuki tempat wudhu
yang toiletnya antri. Aku keluar lagi mencari toilet. Aku menemukan toilet.
YES!!! Hello ransel yang berat lagi baik, kamu harus masuk ke toilet juga ya.
Memasuki Masjid ini, aku
menemukan banyak sekali kelompok belajar anak-anak dengan gurunya yang terdiri
dari sekitar 15 anak perkelompok, membuat aku jadi teringat Kausar, kawan Acehku
yang pandai mengaji dengan suara dan iramanya yang syahdu. Kelompok-kelompok
anak ini akan semakin bertambah ketika ba’da Ashar. Semua Kelompok ini
mempelajari hal yang berbeda-beda. Ada yang belajar menghafal dan murajaah
surah, ada yang belajar mengaji berirama, ada yang belajar fiqih, ada yang
belajar huruf hijaiyah lengkap dengan papan tulisnya.
Aanak-anak dalam kelompok belajar |
Suasana masjid ba'da Jumatan |
Berbeda dengan masjid Sultan
Maimoon yang semua lantainya dilapisi karpet empuk, masjid Baiturrahman ini
sengaja dibiarkan tidak beralas dibanyak tempat. Hanya beberapa baris karpet
pendek untuk syaf perempuan dan beberapa baris lebih banyak untuk syaf
laki-laki. Konon katanya bacaan imam disini katanya bagus, namun sayang dua
kali mampir disini selalu sholat zuhur dan ashar. Selain itu, disini mukenanya
yang tersedia cukup banyak. Namun karena memang jamaahnya ramai, kita harus
menyisihkan terlebih dahulu sebelum waktu sholat masuk.
Di Masjid baiturrahman ini, aku
menikmati arsitekturnya yang megah, tampak rumit dan tua. Lampu Masjid sepertinya
juga sudah berumur ratusan tahun. Tak heran disini aku menemukan banyak orang
berpoto dan menjumpai beberapa pasangan penganten berpoto pasca wedding karena
memang arsitekturnya yang ciamik.
Lampu tua yang saya takar berusia ribuan tahun |
Salah satu payung terkembang di halaman depan Masjid Baiturrahman |
Sewaktu berjalan-jalan menikmati
desain setiap sudutnya, aku bertemu dengan sepasang anak-anak yang sedang
bermain tepuk dan tebak-tebakan. Setelah didekati ternyata mereka adalah orang
Minang yang lahir dan tumbuh di Banda Aceh. Neneknya adalah orang asli Danau
Maninjau dan aku berbicara dengannya dalam bahasa Minang. Dia menawariku untuk
mampir kerumahnya yang ada di Pasar Neusu. Ternyata memang benar, orang minang
itu ada dimana-mana.
Bersama aneuk inong dan aneuk Agam keturunan Minang |
Aku nampang dulu ye ^^... ini bersama Asyanti, temenku dari Makassar yang jadi Relawan di Pidie Jaya. kita berpoto di bagian depannya mesjid jejeran Mihrab. |
Nah sekarang aku cerita tentang masjid
Raya Meulaboh (Nanggroe Aceh Darussalam) ya yang juga termasuk Masjid tua dan
Megah. Tapi kenapa ya aku tidak pernah menemukannya di Kalender? Jawabannya
mungkin ada dua hal, pertama, aku tidak memperhatikan kalender milik orang lain,
kedua mungkin karena desain arsitekturnya yang kurang memunculkan ciri khasnya.
Mungkin alasan kedua ini lebih bisa diterima.
Masjid Raya Meulaboh ketika ba'da Magrib. |
Sama seperti Masjid Baiturrahman,
Masjid ini juga luput dari kerusakan akibat gempa dan tsunami, dan menjadi
tempat aman bagi masyarakat sekitar. Masjid ini selalu ramai apalagi ketika
Magrib tiba. Bacaan imam disini juga bagus katanya, namun sayanganya saya yang
dua kali kesini, untuk sholat magrib selalu menjadi masbuq. Melihat arsitekturnya
dari bagian dalam, saya jadi teringat Masjid Kampus UGM. Beberapa kesamaannya
adalah masjid ini terdiri dari dua tingkat, Mihrabnya yang hampir
mirip, dan juga warna kuning keemasaan yang mendominasi hampir disemua bagian masjid
ini.
Mihrab Masjid Raya Meulaboh |
salah satu sisi Masjid Meulaboh |
Menemui Masjid (apalagi yang
bersih) setelah berjalan jauh rasanya
seperti menemukan rumah sendiri bagiku apalagi setelah menggendong ransel atau
melakukan perjalanan jauh nan melelahkan. Dahulu, kala melakukan perjalanan
estafet sendiri untuk pertama kalinya dari Bali ke Jogja yang terjadi senja
menjelang malam hari: merasakan was-was karena menjadi penumpang bis sendiri
dikala senja mulai datang, digoda lelaki di pelabuhan, dan naik kapal ferry
dengan ombak yang lumayan besar, menemukan masjid di pelabuhan Ketapang Banyuwangi rasanya benar-benar “aku sudah di rumah”. Ada rasa haru yang membuncah. Ada
kerinduan yang akan segera terobati. Ah memang ya, Rumah Alloh selalu
menawarkan kesejukan di hati :D. Makanya citra masjid yang bersih: tempat
wudhu, toilet, karpet, lantai, mukena menurutku itu sangat sangat penting
sekali karena menjadi representasi umat Islam itu sendiri.
Ceritaku tentang masjid-masjid
dalam kalender diakhiri dulu ya. Mungkin saja suatu saat nanti aku diberi
kesempatanan oleh Alloh mengunjungi Taj Mahal di India sana yang kukenal
terlebih dahulu melalui kalender, atau melihat secara nyata gunung Fuji yang
puncaknya tertutupi salju, atau Niagara di Amerika sana atau mungkin Opera
House yang juga pernah beberapa kali nampang di kalender-kalender rumahku.
Semoga ya! Aamiiiiinnnn J
PS: Sebagai penutup, ini wajahku yang nampang didepan
Masjid Baiturrahman. Maafkeun ya pemirsah :P. Saat itu, untuk mendapatkan poto
bagian depan mesjid ini tidaklah mudah, karena ditutup dalam tahap pembangunan.
Ini aku udah nongkrong didepan memasang wajah ramah ke bapak tukang biar
diizinkan masuk, wkwk, alhamdulillah diizinkan...
.
0 komentar:
Posting Komentar