Potongan surga di Berastagi |
Ekspektasiku diawal, ditambah testimoni dari kawanku, mengunjungi
Danau Toba sama seperti mengunjungi Danau Singkarak yang dekat denganrumahku,
malahan Danau Singakarak lebih bagus, begitu komentarnya. Testimoni ini
membentuk ekspektasiku sehingga aku tak berkeinginan banyak untuk mengunjungi
Danau Toba ini.
Namun, mendapatkan teman perjalanan yang totalitas dalam berwisata
adalah berkah tersendiri. Suci, teman fasilitatatorku di Sumut yang mengajak
aku melihat dari sisi yang lain sehingga Danau Toba bagiku adalah potongan
surga.
Medan terkenal dengan bisnya yang melaju dengan kecepatan yang
luar biasa dan menyajikan “service” tak biasa: yakni penumpang bisa duduk di
atap bis. Bayangkan, jika kamu duduk diatas dan bis melaju dengan cepat sekali,
seru sekali ya!! merasakan angin yang menerpa wajahmu, menerbangkan sisi
jilbabmu dan itu membuatku bahagia dan merdeka.Namun bayangan kebebasan ini
harus aku singkirkan dulu demi melihat si Rupawan Toba dari sisi yang tak bisa
dijangkau oleh bis ini. Jadilah kami naik motor mendaki selama lebih kurang 2,5
jam melalui jalan menanjak dan berliku serta banyak lubang.
Destinasi pertama kami yaitu Rumah Ibadah umat Budha Lumbini.
Bentuk bangunan dan warnanya memang mirip sekali dengan Pagoda yang ada di
Thailand sehingga tak heran orang menyebutnya juga dengan pagoda Lumbini. Kami
berkunjung bukan ketika hari libur dan ketika tidak ada aktivitas ibadah
sehingga kuil ini lumayan sepi. Letaknya yang berada di areal perkebunan dan
jauh dari keramaian membuat warnanya yang kuning keemasan semakin memancarkan
auranya tersendiri. Begitu megah ditengah keheningan yang hijau. Menjulang
agung terlihat dari kejauhan.
Untuk dapat menikmati pagoda lumbini, kita harus melewati
pemeriksaan security terlebih dahulu
dan setelah itu kita bisa masuk tanpa membayar tiket. Disambut oleh patung
gadjah putih dikedua sisi gerbang masuk, seolah-olah semakin menegaskan bahwa
Lumbini ini adalah saudaranya Pagoda di Thailand sana. Di dalam pagoda ini kita
akan menemukan beberapa patung Budha dan dewi-dewi menurut kepercayaan mereka
juga dupa-dupa roh yang abadi dalam nyala api lilin yang terjaga.
Tidak banyak yang bisa saya jelaskan tentang detail isi Rumah
Ibadah Lumbini ini karena saya memang tidak tahu banyak mengenai tradisi dan
makna simbol yang ada didalamnya. Makanya, liat potonya saja ya berikut saya
yang juga nampang ^^.
Melaju satu jam lagi untuk sampai di air Terjun Sipiso-Piso di
Kabanjahe, Kabupaten Karo, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan perbukitan
dan lembah yang asri lagi hijau. Jalanan yang mulus namun tidak terlalu ramai
membuat bis-bis dan mobil yang lewat dapat melaju kencang dan bebas. Disini
kami juga menemukan beberapa pondok-pondok kecil yang menjual Jeruk Berastagi
yang aku yakin pasti manis. Jika musim panen, Jeruk-jeruk ini akan sampai ke
Provinsi tetangga dan dapat dipastikan akan laris. Sayur-sayuran yang dijual
disekitar wilayah Sumatera Utara juga berasal dari daerah sini seperti lobak,
tomat, cabe dan jenis sayuran lainnya.
Karena disini juga dihuni oleh mayoritas penduduk karo yang
beragam kepercayaan namun didominasi oleh penduduk beragama Protestan dan
Katolik, maka kami sering melewati Gereja dengan berbagai kategori seperti :
Gereja Bethel, Gereja Injil, gereja Pantekosta dan beberapa yang aku lupa, aku
juga tidak tahu benar perbedaan gereja ini sesuai dengan namanya. Sepanjang
perjalanan juga ada beberapa warung makan berbahan Anjing (B1) dan Babi (B2).
Lumayan jauh memang perjalanan kami dan hal itu membuatku merasa
seperti anak motor tanpa genk :P. Namun memacu motor kesini tak akan sia-sia. Air
terjun dengan ketinggian sekitar 120 meter ini bagai lintasan yang membelah
lembah Berastagi nan hijau. Untuk menuju dasar air terjun ini terdapat tangga yang
terdiri dari sekitar 200an anak tangga. Mengingat waktu kami tidak turun
kedasar si piso-piso ini.
Sipiso-Piso nan rancak bana |
Pose terwakwao, sori ye agak alay dikit |
Menghadap ke sisi lainnya, aku seperti melihat potongan surga, danau Toba dari ketinggian yang bersisi dengan lembah hijau nan eksotis. Dibawah sana terdapat lembah asri dengan beberapa perumahan penduduk. Untuk mencapai tepian danau, kita bisa melewati jalanan berliku yang melewati pinggang perbukitan. Sepertinya bersepeda kebawah sana akan sangat menyenangkan dengan mata yang tak jemu menikmati keasrian sekitar.
Ah ekspektasiku akan Toba yang “biasa-biasa aja” sirna sudah. Its
very very Wowww! Suci yang sudah beberapa kali melihat Toba, mengakui bahwa di
Kabanjahe adalah sisi terbaik untuk melihat keindahan Toba. Duduk diketinggian
dan menatap kebawah sana rasanya menenangkan sekali. tak mau pulang.cukup lama
kami duduk dan menatap ke arah Toba yang rupawan.
Eh tiba-tiba terdengar gemuruh yang lumayan besar, pertanda disuruh beranjak, hihi.
Bersama guide yang totalitas, Suci ^^ |
Hujan melanda cukup deras saat kami meninggalkan Danau Toba dengan
segala kerupawanannya. Namun sayang hanya ada satu mantel celana –dulu aku
menamakannya mantel egois karena penumpang yang dibelakang tak bisa
sedikitpun numpang berteduh- dan itu berarti aku yang merangkap sopir yang akan memakainya. Hujan deras ini baru
berhenti setelah kami keluar dari daerah Kabanjahe yang berjarak sekitar 1 jam.
Aih lumayan membuat Suci menggigil dan tangaku jadi keriput pucat.
Sekitar pukul empat lebih, kami menyambangi pemandian air panas Sidebu-Debu
dengan warna toska yang bergradasi menandakan perbedaan kandungan belerangnya. Pemandian
ini terletak dikaki bukit yang lumayan lengang. Melihat kondisi pemandian yang
kurang terawat sepertinya tidak banyak pengunjung yang datang kesini. Menurut
informasi yang kami peroleh di Internet setelahnya, pemandian Sidebu-Debu ini
adalah pemandian utama yang tidak dikelola ala pemanndian komersil lainnya
sehingga tampil “apa adanya” dengan fasilitas kamar ganti yang tinggal puing
menandakan pernah jaya pada zamannya. Sepertinya ada beberapa pemandian air
panas lain yang dikelola lebih komersil disekitar sini. Namun, ini sudah sangat
luas untuk kami berdua.
Hal yang paling membuat senang sekaligus agak cemas adalah suasana yang lengang. Senang karena berasa menjadi peguasa pemandian air panas yang begitu luasnya laksana hamparan petakan sawah. Cemas karena suasana pemandian yang dipeluk oleh pegunungan ini berkabut selepas hujan –juga dua yang ada dibeberapa titik- sehingga menambah kesan magis. Ah kita (tepatnya aku saja ding) jadi berasa dua bidadari terdampar di pemandian bumi dan takut ada Jaka Tarub ala Medan menyembunyikan pakaian ganti kami sehingga kami pulang ke Kayangan dengan pakaian basah. :P :D
Penguasa Sidebu-Debu selama 30 menit :P |
Sumur penghasil air panas yang mengalie ke kolam-kolam |
Mencebur di pemandian ini rasanya lelah karena perjalanan kami
yang disertai hujan ikut larut terbawa arus air panas dan lenyap di ujung sana.
Aku merasa ingin membekukan waktu sebentar saja agar bisa berendam barang satu
jam lagi. Merasakan panasnya air melemaskan ototku yang kaku dan meluruhkan
daki yang bertumpuk dikulit karena perjalanan 2 minggu yang telah kulewati.
Sayang, waktu berlalu begitu cepat dan kami harus memacu motor ke
arah Kota Medan sekitar 2 jam lagi. Puas rasanya bisa berkelana menikmati
tempat eksotis di Berastagi.Tak peduli wajahku belang dan tangaku yang menjadi
legam karenanya.
the last :P |
0 komentar:
Posting Komentar