Beberapa pekan lalu, saya membaca sebuah kolom di harian Republika yang lumayan membuat saya kembali termenung memikirkan esensi waktu. Berikut kesimpulan yang saya rangkum: “Setiap hari yang kita lewati adalah gabungan jam, setiap jam yang kita lalui adalah gabungan menit dan setiap menit adalah kumpulan detik. Detik-detik yang kita lewati nantinya akan menjelma lemari di akhirat kelak yang bisa kita buka untuk melihat isinya. Nah bagaimana isinya nanti tergantung bagaimana kita mengisi detik-detik kehidupan kita di dunia. Apakah lemari kita ada isinya atau malah kosong”.
Kolom ini menjadi pengingat bagi saya, membuat saya merenung, dan bertanya kepada diri “sudah berapa lama hidup di dunia? Apa yang sudah dilakukan dalam tempo yang sudah lama itu?”. Sungguh saya tak mampu menjawabnya, hanya terbayang detik-detik yang dilewati dengan kesia-siaan menjelma lemari sedikit isi atau bahkan kosong melompong. Duh gusti, maafkan saya.ππ’
Artikel ini kembali saya bacakan kepada ibu saya –karena memang terkadang kami hobi saling menceritakan bacaan apa yang dirasa bermanfaat-. Lantas ketika saya kelihatan malas seharian, ibu saya bertanya, “sudah diisi lemarinya?” hehe, duhhh.
Mengenai waktu, saya pernah bertanya kepada teman saya, saya anggap pertanyaan bodoh sih. Begini pertanyaan saya “Mas, nanti kalau orang-orang di surga apa nggak bosan tu kerjaannya senang-senang terus?” jawaban teman saya itu santai namun cukup logis untuk seorang saya yang mencari dan menyukai kelogisan fana. Begini jawabnya: “Waktu itu kan ciptaan Tuhan, sama fananya dengan manusia. Bosan itu juga rasa yang fana. Kesemuanya ada di dunia fana. Jadi jangan berfikir dengan logika fana. Semua rasa nanti (diakhirat) tidak bakal ada yang fana”.
gambar dari google |
Waktu adalah fana. Ia hadir dalam hitungan jam, detik dan menit karena sunatullah, karena memang ketentuan Tuhan. Ia dihadirkan Tuhan untuk menjadi teman sekaligus musuh bagi manusia. Menjadi teman, karena digunakan untuk hal yang bermanfaat. Menjadi Musuh manusia karena dihabiskan dalam kesia-siaan. Kesia-siaan disini menurut saya tergantung definisi pribadi dan tidak bisa distandardisasi. Tidur yang terlalu banyak menurut saya adalah sia-sia, sementara beberapa orang membutuhkannya karena menghemat energi untuk bekerja keras nantinya. Menonton tayangan gosip disatu sisi adalah hal yang sia-sia, tapi di sisi lainnya bermanfaat agar kita bisa mempelajari tipe-tipe manusia (maksa mah kalau ini! π
).
Kita diberikan waktu sama banyak oleh Tuhan, yakni 24 jam, terlepas dari jatah umur yang telah ditetapkan. Dari 24 jam itu sekitar sepertiganya sudah habis oleh tidur, belum lagi waktu untuk bermalas-malasan, menonton siaran TV yang kurang berguna, ngobrol ngalor ngidul, Menghabiskan waktu dengan sosmed, hanya untuk scroll dan membaca status orang-orang, lalu beberapa saat kemudian, buka sosmed lagi, membaca status yang tadi lagi (ini problem kecanduan sosmed pada banyak orang terlebih bagi saya!). beberapa kegiatan tersebut saya sebut sia-sia, mungkin bagi sebagian yang lain tidak begitu, karena mungkin menemukan kebermanfaatan, seperti mengomentari status di sosmed yang membuat tali silaturrahim kembali terjalin atau membaca tulisan yang inspiratif. Nah dari jatah waktu yang sama tersebut, ternyata kebermanfaatan waktu setiap manusia tidaklah sama. Intinya adalah berbeda usaha untuk mengisi lemari-lemari setiap detik kita.
Saya seringkali salut dalam hati terhadap orang-orang yang produktif dalam karya dan kebaikan versi saya. Salah satu ulama yang saya kagumi adalah Prof. Quraish Shihab. Membaca biografinya dan deretan panjang karyanya membuat saya seringkali bertanya, ini Prof berapa jam tidurnya dalam sehari? Dengan karya yang sebanyak ini, pasti banyak sekali bacaannya. Pasti setiap detiknya begitu berharga bagi beliau. Duh sungguh penuh lemari-lemari detiknya. Namun sungguh, ulama-ulama yang ilmunya sangat tinggi adalah orang-orang yang tidurnya hanya sebentar saja seperti kisah Imam Syafii yang diprotes oleh putri Imam Ahmad karena beliau beranggapan berbaringnya Imam Syafi’i adalah tidur, namun ternyata dipergunakan untuk menelaah Kitab Allah dan Sunnah Rasul SAW.
Saya pernah ke dokter yang waktunya menurut saya sangat berharga. Bayangkan, 3 bulan antri di layanan BPJS sebuah RS hanya untuk mendapatkan pelayanan dari sang dokter sekitar 10 menit saja. Kalau tetap mau bertemu dan mendapat layanannya, silahkan mendaftar di Klinik lain non asuransi yang tentu mahal. Kata Ibu saya, Dokter tersebut sudah tidak lagi berada pada tataran bekerja untuk mencari uang, yang dia butuhkan hanyalah waktu agar bagaimana ilmunya tetap berkembang dan bagaimana kehidupannya bermanfaat untuk kemanusiaan.
Tapi ngomong-ngomong dari tadi saya kok membicarakan orang-orang yang “melampauai batas” saja ya. Mereka kan memang udah dari “sononya” begitu. Ohohoho, menuliskan Prof. Quraish Shihab, Imam Syafii dan Sang Dokter tersebut hanya untuk jadi patokan dan jadi bahan belajar kok, bukan lantas orang-orang yang pekerjaannya kelihatan kecil dan “remeh temeh” tidak dianggap. Bukan. Coba Rumah Sakit yang digunakan Dokter dibangun oleh tenaga-tenaga yang bekerja dengan memeras keringat dan membanting tulang, berusaha mencari nafkah halal untuk pendidikan anak-anaknya. Buku Quraish Shihab, sampai ke kita dan terbaca karena ada banyak aktor yang dianggap hanya “kecil”. Bukan kecilnya, tapi seberapa manfaatnya, toh pekerjaan besar selalu dimulai dari pekerjaan kecil dan remeh, toh dibalik aktor yang besar terdapat banyak aktor-aktor yang sudah bekerja keras. Jadi tugas kita hanya memastikan setiap detik lemari diisi dengan hal yang berguna.. Urusan isinya, serahan saja kepada Gusti Alloh. Bukankah pekerjaan yang diawali dengan niat Lillahitaala dan keikhlasan akan berbuah kebaikan? Bukankan Tuhan Akan membalas setiap kebaikan walau sebesar Biji Zarrah?
Intinya; Lillahitaala, Berbuatlah karena berharap Ridho Alloh, karena itu yang paling tinggi dari apapun. Dia. Muara dari semua kebaikanππ.
*nasehat untuk diri sendiri di #1 Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar