RSS

Makna Merdeka diujung Kemalasan

“Bekerja adalah cara memerdekakan diri dari kemalasan” begitu saya mengucapkan ujug-ujug ketika sedang di meja makan bersama ibuku.

“Malas adalah cara memerdekakan diri dari pekerjaan” sambut ibu saya setelah beberapa detik.

Aih, ibuku ini, kadang juga sinis ternyata. Bagiku sikapnya ini kadang menggembirakan karena sesuai dengan realitas,tapi kadang juga menjengkelkan. Seperti kata-katanya barusan yang terinspirasi dari kata-kataku sebelumnya. Ia seperti sengaja mengejekku.

Yap, akhir-akhir ini saya merasa kemalasan saya keterlalauan – tapi sialnya saya memakluminya karena berdalih ingin memanjakan diri- melanda saya siang malam, pagi petang. Saya bisa tidur sepanjang waktu: sehabis subuh, sebelum zuhur, setelah zuhur (tidur siang), dan terkadang juga ditambah dengan tidur setelah sholat magrib menjelang isya.nah luar biasa kan pencapaian skor tidur saya?. Kemalasan saya ini bertambah buruk dengan kebiasaaan makan saya yang juga meningkat. Memang saya makan dalam porsi yang sedikit, tapi dilakukan dalam tempo yang sering :P. Kemasalan saya ini juga didukung oleh faktor lingkunga: kedua orangtua saya di rumah adalah pensiunan yang mempunyai waktu luang yang banyak.

Ya Tuhan, terkadang saya bercakap dengan diri saya ini, kenapa saya begitu malasnya. Membuat otak saya rasanya kosong tidak pernah dipergunakan untuk berfikir yang rumit-rumit dan dengan perut yang hampir selalu penuh –kalau tidak mau dikatakan gendut- . Rasanya sudah lama saya bermalas-malasan seperti ini, tidak ada tantangan, datar, nyaman.

Tapi sebagian diri saya yang lain membenarkan sikap saya ini. Tidak apa-apa, toh baru sekarang ini saya bermalas-malasan, setelah sebelumnya menyibukkan diri dengan pekerjaan saya yang berpindah-pindah. Lagian memanjakan diri sejenak dengan bermalas-malasan apa salahnya sih? ini mungkin ya yang dinamakan merdeka.

Ternyata merdeka itu tidak selalu baik ya, batinku. Coba tengok, negara yang barusan merdeka, setelah merayakan euforia kemerdekaan yang menyala-nyala, beberapa malah kebingungan hendak membawa kemana negaranya, (Indonesia sudah merdeka 60 tahun lebih loh, lihat kan bagaimana perkembangannya?). aniway, kok saya jadi nglantur sok-sokan ngobrol negara ya. Heuheuu, ampunkan saya Sarjana Ilmu Politik ini yang gagal ini.

Nah, post dependent syndrom –yang saya istilahkan sendiri (biarin kalau tidak matching)- saya rasakan juga ternyata. By the way, post dependent syndrom ini saya namai setelah melihat ramainya cuitan dan komentar netizen tentang sikap SBY yang mereka sebut sebagai post power syndrom. :P. Oke oke, kembali ke obrolan ya. Nah Post dependet Syndrom ini ternyata saya rasakan juga, ternyata sesibuk-sibuknya saya dengan pekerjaan kemaren (supervisi ke tempat jauh, tak ada hari libur, entri nilai, memberikan pelatihan walau dihari minggu) (walapun sibuknya berkala, juga ada santainya kok), yang membuat saya tidak bisa mengerjakan hal lain, bahkan untuk mencuci pakaian saya dan merapikan kamar, dan membuat saya merindukan kasur, ternyata tetap lebih enak dibanding dengan bermalas-malasan.

Sudah dua tahun saya bekerja sebagai fasilitator yang berpindah pindah tempat, dan pada awal tahun 2017 ini programnya sudah ditiadakan (walau saya sudah memutuskan akan resign diawal tahun ini). Naik Bis, menghubungi orang-orang, merancang training dan jadwal pelatihan adalah tugas yang saya lakoni sebagai fasilitator. Senang dong, bisa pindah-pindah, tidak ada kantornya, tapi pekerjaan bisa beres. Nah diawal tahun 2017 ini, semua fasilitator yang terlibat dalam program ini putus kontrak. Ah sejenak bersantai dirumah, alangkah menyenangkannya, bisa bermanja-manja dengan kasur, bisa kangen-kangenan dengan guling tanpa kepikiran deadline atu dihubungi peserta program. Merdekanya diri ini. (menghempaskan diri ke kasur)

Tapi Merdeka itu saya rasakan cuma sekitar 1 minggu saja -setelah saya menghabiskan waktu untuk berlibur bersama keluarga- setelah itu, kok saya tidur-tidur saja ya?eh saya ada agenda apa hari ini?eh tidak ada agenda ya ternyata, waw, whatsapp saya kok tidak rame seperti biasanya ya? Eh hari minggu ini kok tidak kemana-mana ya? (hari minggu adalah jadwal tetap program tatap muka dengan peserta). Perasaan baju-baju kerja saya sudah pada rapi kok tidak pernah dipakai ya? Wkwkwk, begitulah perasaan diawal-awal dulu.

Nah, quote yang tiba-tida saya lontarkan diatas (saya sebut saja quote ya, semoga tidak ada yang keberatan) terlontar dihari ke-28 kemerdekaanku dari pekerjaan. Quote itu terlontar begitu saja, karena setelah dipikir-pikir ternyata bekerja adalah cara untuk memerdekakan diri dari kemalasan. Bekerja akan memerdekakan diri dari kekosongan pikiran, memerdekakan diri dari kelalaian yang mengancam masa depan (halah), memerdekakan diri dari kepasrahan. Bekerjalah,tak peduli apapun yang akan kau kerjakan.

Dan lihatlah sore ini.....

Saya mencangkul,membersihkan halaman depan dari rumputan yang tebal dan menggemburkan tanah yang telah padat untuk kemudian ditaburi biji bunga. Biar apa saya bekerja? Biar saya bisa memerdekakan diri saya dari lemak yang mengancam kesehatan :P. Dan lalu saya menuliskan cerita di blog ini. Ya walaupun sedikit kurang jelas (banyak kali) tapi setidaknya dengan menulis ini membuat pikiran saya sedikit berjalan.

*280117, diujung kemalasan yang menjadi-jadi. Semoga saya selalu istiqomah untuk memerdekakan diri dari kemalasan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar