Bagi
saya, memang cukup sulit untuk tidak jengkel ketika penumpang yang berada dimobil yang sedang
berjalan didepan kendaraan saya tiba-tiba membuang sampah tongkol jagung
lengkap dengan kulitnya. Dan itu hampir mengenai wajah dan helm saya. Saya tak
paham mengapa masih banyak pengendara yang berlaku seperti ini: membuang sampah
sembarangan seolah-olah mereka berhak membuang sampah disemua jalanan dinegeri
ini. Apakah mobil mereka tidak sanggup untuk menumpangkan sampah itu hingga
mereka menemui tempat sampah? Saya juga tak mengerti jalan pikiran mereka yang
menilai tindakan ini biasa atau bisa dimaklumi. “yaudahlah” begitu komentar
santai teman saya ketika saya mulai cerewet mengomentari perilaku ini. “Bisa
dimaklumi” karena mau diapakan lagi setelah mereka melihat yang lain membuang
sampah, apakah memungut sampah yang dibuang orang lain tersebut?. “Bisa
dimaklumi” karena itu hanya sampah
kecil. “Bisa dimaklumi” karena toh
bakal ada petugas kebersihan yang memungutnya. “Bisa dimaklumi” karena memang tidak disediakan tempat sampah
ditempat tersebut. Dan beribu-ribu kalimat “bisa dimaklumi”lainnya.
Perilaku
membuang sampah pada sembarang tempat menjadi kebiasaan masyarakat kita yang
masih membudaya sehingga sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa. Masih
banyak orang yang berfikir bahwa membuang sampah adalah hal biasa tanpa
konsekuensi (semoga saja bukan anda). Ada yang sudah tahu konsekuensi membuang
sampah, tapi tetap saja membuang sampah sembarangan. Coba saja bejalan-jalan
disekitar tempat wisata disekitar Sumatera Barat ini, anda akan dengan mudah
menemukan tebaran sampah dimana-mana dan bahkan sudah menjadi tumpukan. Bahkan
dengan adanya tumpukan ini, akan “memanggil” sampah-sampah lainnya untuk ikut
berkumpul.
Dulu
ketika saya sekolah, sering ada jadwal memungut sampah. Sehabis apel pagi,
semua murid diminta untuk memungut sampah yang ada dihalaman sekolah. “Acara”
memungut sampah ini rutin diadakan
sekali seminggu atau dua kali dalam sebulan. Ketika saya melakukan supervisi
dan kunjungan kesekolah pun,”acara” ini juga pernah diadakan. Lantas apa
implikasi jangka panjangnya dengan adanya “acara” memungut sampah ini? Tidak
ada. Apakah setelah itu, murid-murid akan terbiasa membuang sampah ditempatnya?tidak.
Apakah dengan ini murid-murid mulai menyadari lingkungannya menjadi kotor
karena sampah dan karena itu kebiasaan membuang sampah pada tempatnya mulai
dibudayakan?tidak. Tidak ada implikasi jangka panjang dari program ini.
Menurut
saya, budaya membuang sampah pada tempatnya tidak memerlukan ceramah panjang
lebar tentang akibat dan efek lingkungan jika membuang sampah sembarangan.
Percayalah! Pembiasaan ini bukan seperti menyeduh mie yang langsung bisa
diseruput. Yang namanya pembiasaan ya memang harus dibiasakan. Sederhana:
dibiasakan.
Lantas,
kita mulai dari mana? Ah, saya jadi mempunyai angan-angan, jika setiap orang
yang hidup di Sumatera Barat ini dalam setiap hari, membuang sampah pada
tempatnya, maka tidak akan membutuhkan waktu lama agar tempat-tempat umum di Sumatera
Barat ini tampak bersih. Tidak akan membutuhkan waktu lama, tempat wisatanya
akan terbebas dari “wajah buruknya”. Bukan hanya sekolah yang menjadi kuncinya,
tapi semua orang, dimulai dari rumah, lingkungan masyarakat dan sekolah.
Karena
rumah adalah sekolah pertama maka orangtua harus mempunyai peranan penting
untuk menciptakan kesadaran membuang sampah pada tempatnya sejak dini. Lalu
disekolah, pembiasaan ini harus dimulai sejak anak sudah menginjak kelas 1,
setiap guru harus mengawasi dan mengingatkan muridnya agar selalu membuang
sampah ditempatnya. Setiap murid harus mengingatkan temannya. Setiap kakak
kelas harus mengingatkan adik kelasnya jika mendapi perilaku membuang sampah
sembarangan dan begitu pula sebaiknya.
Yang
terpenting dari pembiasaan ini adalah adanya keteladanan dari orang-orang
dewasa disekitar mereka. Tidak lucu kan
melihat seorang guru membuang sampah sembarangan sementara disekolah sering
mengingatkan muridnya untuk menjaga kebersihan lingkungan? menjadi ironis
ketika ada acara pelatihan yang diikuti guru, justru setelah acara selesai,
ruangan jadi penuh sampah? (ini bukan soal tanggung jawab petugas kebersihan).
Merasa aneh jika orangtua menganggap biasa membuang sampah sembarangan ketika
disekolah anak-anak mereka dididik agar mencintai kebersihan.
Minangkabau terkenal dengan falsafah adat religiusnya (adat
bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah). Selain pembiasaan, beberapa nilai
yang diajarkan islam sebenarnya sangat baik yang bila dipraktekkan secara
berkelanjutan akan membuat masyarakat maju. contohnya adalah sebelum shalat
kita diwajibkan untuk berwudhu yang menandakan kebersihan pribadi dan
kebersihan jiwa. Jika ini dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, maka
kebersihan lingkungan menjadi cerminan dari umat islam sebagai manifestasi dari
kebersihan pribadi dan jiwa. Bukankah kita sering mendengar bahwa “kebersihan
adalah sebagian dari iman?”. Maka mulailah dengan membuang sampah pada
tempatnya, jika tidak bertemu dengan tempat sampah, simpanlah terlebih dahulu
ditas atau dikantongmu. Jangan sampai merasa “takut mengotori” kantong sehingga
berani mengotori lingkungan.
*Pernah Dimuat di Harian Singgalang, Kolom Kemandirian, Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar