RSS

Muridku Pun Berwajah Televisi



Ade ape?” aku tak naklah” begitu kudengan sepintas kata-kata yang keluar dari salah seorang muridku yang sedang berbicara dengan temannya. “Aku lagi sibuk pun”

Oo rupanya mereka juga sedang gandrung dengan tayangan duo kembar dari negara tetangga. Aku lumayan sering mendengar murid-muridku bercakap dengan dialek negeri Jiran tersebut. Kadangkala mereka pun berbahasa melayu pula kepadaku dan memanggilku dengan panggilan “Cek gu”. Hal ini membuat aku pun sering menyelipkan kata-kata khas dari tayangan anak-anak tersebut dalam pembelajaranku. “Betul betul betul” begitu responku ketika mereka dapat menjawab pertanyaanku dengan tepat diiringi dengan tawa mereka. Ah anak-anak, ada saja tingkah mereka yang membuatku geli. Tak dipungkiri memang, tayangan yang mereka tonton dirumah akan berdampak pada tingkah mereka disekolah. 

Pagi ini aku sedang mengawasi anak-anak yang sedang piket harian dan anak-anak yang sedang membersihkan halaman kelasnya. Aku melihat dua anak yang bertingkah konyol.
“grrrrrr” “argggghhhh” begitu desisan muridku kepada temannya yang satu lagi. Sontak sang teman pun menjawab dengan desisan disertai gerakan tangan yang menyerupai cakaran. Mereka membentuk formasi seperti hendak bertengkar dan beradu fisik. Tak lupa desisan aneh yang selalu keluar dari mulut mereka. Rupanya mereka bukan hendak bertengkar, namun mereka sedang menirukan gerakan khas dari sebuah sinetron yang tayang tiap malam.

Tadi ketika berjalan kekantor sempat kulihat beberapa muridku bertingkah yang sama, bahkan ada yang memakai kuku panjang palsu yang terbuat dari plastik dan ada juga yang memakai gigi plastik lengkap dengan taringnya yang panjang. Jika mereka memakai keduanya ditambah gerakan-gerakan akting dengan desisan aneh, lengkap sudah murid-muridku ini seperti tokoh yang sedang ngetrend saat ini di televisi. Adegan tokoh-tokoh dalam tayangan tersebutlah yang “menginspirasi” murid-muridku bertingkah dan berakting sedikit norak. Geli. Sepintas itu yang kurasakan. Melihat tingkah konyol dan wajah innocent anak-anak ini merupakan hiburan tersendiri bagiku. Tingkah ini sering menyisakan ingatan ketika sedang tidak bersama mereka dan akhirnya membuatku tertawa sendiri. Namun geli kali ini menyisakan perasaan miris dan cemas. Jika aku amati lebih dalam lagi, mereka sudah berfantasi menjadi tokoh idola di sinetron nan murahan tersebut dan menganggap teman-teman disekitarnya pun dengan tokoh-tokoh lainnya yang juga ada dalam sinetron tersebut. 

Aku lumayan sering berkunjung kerumah muridku diwaktu senggang dan akupun menyimpulkan bahwa begitulah selera pasar pada saat ini: tontonan kejar tayang dimana kejadian dalam setiap adegannya selalu menyuguhkan irasionalitas dan pesan moral yang pendek. 

hari gini masih ada ya yang menyukai sinetron tersebut?” batinku. Akupun memaklumi karena mungkin saja daerah pengabdianku selama setahun ini jauh dari informasi dan berita terkini dikarenakan letaknya yang lumayan agak terpelosok. Namun hipotesisku ini sedikit kuralat karena aku juga menemukan kasus yang sama didaerah yang menurutku sudah lumayan maju. Jika didaerah penempatan, aku menemukan bahwa yang menyukai sinetron tersebut umumnya adalah anak-anak dan para orang tua, ternyata didaerah lainnya aku menemukan data baru: bahwa bukan cuma kalangan anak-anak dan orangtua saja yang menyukai tayangan irrasional tersebut, namun juga kalangan yang menurut ekspektasiku tidak akan menyukai sinteron berbelit-belit.

Selera pasar. Selera pasar akan menaikkan rating dari suatu tayangan yang menimbulkan keuntungan bagi produsen tayangan tersebut. Terkadang para produsen sinetron pun begitu pintar mencari celah untuk membentuk selera pasar. Produsen dan penikmat sinetron. Entah yang mana yang lebih berpengaruh lebih besar dalam membentuk selera pasar. Sinetron dengan minim pesan dengan maksud meraih keuntungan yang banyak. Sinetron ini terus-terusan diproduksi dan dihidangkan kepada para pencinta sinetron yang ada di negeri ini. Rating yang tinggi membuat mereka semakin merajalela membuat episode tambahan yang semakin tidak masuk akal. Siklus ini berlanjut bak lingkaran tanpa sudut. 

“Grrrrhhhhhhhhh”
“Arggghhhhhhhhh”

Desisan murid-muridku menghentikan lamunanku. Bel tanda berbaris berbunyi. Murid-muridku bergegas menuju lapangan. Tak lupa desisan dan atribut kuku dan gigi plastik. Ah, Entah siapa yang harus dipersalahkan, produsen sinetron ini? para pengawas tayangan televisi? Atau orangtua mereka???

#ODOP 2

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku tahu, aku tahu sinetron apa itu..hehe
Tapi bukan berarti aku penonton setianya lho...sempat nonton sekilas, yg bikin aku miris, mereka memasukkan simbol islam di dalamnya,padahal ceritanya tdk masuk akal...entah itu manusia jadi2an apa hewan jadi2an yaach..lebih miris lagi, sinetron ini digandrungi anak kecil, ditiru pula adegannya #menyesakkandada

aireni mengatakan...

Aku tahu, aku tahu sinetron apa itu..hehe
Tapi bukan berarti aku penonton setianya lho...sempat nonton sekilas, yg bikin aku miris, mereka memasukkan simbol islam di dalamnya,padahal ceritanya tdk masuk akal...entah itu manusia jadi2an apa hewan jadi2an yaach..lebih miris lagi, sinetron ini digandrungi anak kecil, ditiru pula adegannya #menyesakkandada

Pu dan Ga mengatakan...

:D saya juga sepertinya tahu judul sinetronnya. Kalau tidak salah sinetron itu masuk daftar siaran yang tidak mendidik menurut Komisi Penyiaran Indonesia. Ironisnya ratingnya malah tinggi ya?. Hm...masyarakat kita memang masih butuh edukasi kritis tentang apa yang mereka tonton.

:D geli saja membayangkan anak-anak itu bertingkah "Arrrghhh" "Grrrh"

Arda Nurwan mengatakan...

Mbak Ariyani dan mbak Triya pada tau ya judul sinetronnya, wah dicuragi jadi pengikutnya nih :P...
yaaah begitulah anak-anak zaman sekarang dan ternyata bukan hanya anak-anak aja yang doyan....

Posting Komentar