RSS

Bukan Pahlawan



Terpujilah wahai engkau
Ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup
Dalam sanubariku
Sbagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
Begitulah lirik yang dibawakan siswa-siswaku ketika acara perpisahan setelah satu tahun aku mengabdi. Mereka berbaris membentuk dua shaf. Langkah kiri, langkah kanan, riang gembira mereka menyanyikan lagu ini, tersenyum dengan bibir memerah hasil dihias sejak subuh tadi. Ah mengabdi. Benarkah aku mengabdi untuk mereka? 

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa...

Sejenak aku tertegun dengan bait terakhir nyanyian mereka. Terakhir kali aku menyanyikan lagu ini ketika perpisahan kelulusan SMP. Kala itu, tanpa perasaan aku bernyanyi, datar, cuma mengikut lirik dan tanpa ekspresi. Acara berjalan seperti yang sudah diskenariokan: Pembacaan puisi perpisahan dan ucapan terimakasih untuk para guru-guru, paduan suara perpisahan atau terimakasih untuk guru-guru, bersalamanan dan meminta maaf kepada guru-guru, lalu jika ada yang menangis sedih, silahkan, malah konon akan membuat acara ini tambah khidmat dan syahdu katanya. 

Temanku yang waktu itu terkenal karena kebandelannya, kulihat menangis tersedu-sedu sambil meminta maaf kepada para majelis guru. Sedu-sedannya menular pada beberapa teman yang berada didekatnya. Tak tahu apakah ikut-ikutan menangis agar acara semakin syahdu, atau apalah, aku tak paham betul perasaan mereka. Aku yang merupakan remaja datar waktu itu, cuma nyengir polos memasang tampang pura-pura sedih ketika bersalaman dengan para majelis guru. Aku memang tidak sedih, toh sebentar lagi aku akan bersekolah kejenjang SMA yang ini berarti hal yangg kutunggu-tunggu. Selain itu, aku juga bakal sering bertemu dengan guru-guru SMP ku ini, karena rumahku yang dekat dengan sekolah. Jadi, sudah cukuplah alasanku untuk tidak menangis.

Trimakasihku, kuucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna slalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya, agar tumbuhlah bakatku
Kanku ingat slalu nasehat guruku
Trimaksih kuucapkan
Murid-muridku selesai bernyanyi beberapa lagu dan berhamburan memelukku. Beberapa kulihat berlinang air mata, persis temanku kala itu yang menangis tersedu-sedu. Dan beberapa lainnya kulihat menunduk dengan muka sedih.
Ah iya, tadi dalam lagu mereka menyebut kata pahlawan. mereka sebut guru adalah patriot pahlawan tanpa tanda jasa. Jika ini adalah perpisahanku sebagai seorang guru yang telah mengajar mereka, berarti kata-kata dalam lirik lagu tadi ditujukan untukku? Ah, aku jadi GR. Gede Rasa. Amboi, jadi karena inikah mereka memelukku? karena aku adalah pahlawan bagi mereka?. GR ku semakin menjadi-jadi. Ingin kuperbesar badanku ini agar semua muridku bisa memelukku. Agar mereka bisa menangis sejadi-jadinya menyesali perpisahan ini. Ingin kuperpanjang tanganku ini agar aku dapat merangkul seluruh siswaku dan dapat merasakan kesedihan mereka yang akan segera berpisah denganku ini. Denganku yang disebut dalam lirik lagi tadi sebagai pelita dalam kegelapan.

Ah, aku terbuai dengan kalimat tersebut. Akulah guru. Guru. Mereka menyebutku pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu mereka kenang. Selama ini aku beranggapan bahwa para pejuang kemerdekaanlah yang disebut pahlawan, tapi aku juga termasuk diantaranya. Betapa merekah hati ini oleh pujian tersebut. Aku yang tak pernah lelah mengajar mereka setiap hari. Aku yang tak pernah marah sekalipun pada anak-anak ini. Dan aku yang tak pernah berharap diberi tanda jasa walau sana-sini sibuk mengurus sertifikasi dan kenaikan pangkat. Yah,aku memang pahlawan. 

“Bu Arda, hati-hati dijalan nanti ya, nanti ibu kesini lagi kan?”  tanya Siska, salah seorang muridku sambil tersenyum. Aku tergagap sadar. Disana kulihat siswaku berbaris dengan tidak antri, berdesak-desakan. Bukan berdesak-desakan karena ingin segera bersalaman denganku, tapi karena tidak sabar ingin segera pulang kerumah setelah acara perpisahan ini. Bahkan beberapa ada yang keluar dari barisan dan kemudian meraih tangaku dengan paksa agar kami segera bersalaman. Aku capek dan pegal. Capek karena tidak tahu mana yang nyata dan mana yang mimpi. Capek karena satu jam lagi aku harus ke kantor dinas mengurus sertifikasiku. 

#ODOP6


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

4 komentar:

Uncle Ik mengatakan...

bagus ceritanya mbak, pembaca bisa ikut merasakan emosi dalam cerita mbak, good job

Anonim mengatakan...

Saya suka bagian yang ingin membesarkan badan demi bisa dipeluk oleh semua murid.
Hahaha

Anonim mengatakan...

Saya suka bagian yang ingin membesarkan badan demi bisa dipeluk oleh semua murid.
Hahaha

Arda Nurwan mengatakan...

@bang Achmad:saya masih bingung cara membedakan khayalanan dan realita, masih belum kelihatan. tapi ayo belajar terusss :)

@mbak Triya: hehe, terimakasih mbak Triyaaa, fightingggg :))

Posting Komentar