Namaku Ludo. Begitulah yang kutahu sejak aku bersamanya, dan aku juga tahu dia menamaiku Ludo karena dia ingin Ludo selalu ada menemaninya. Ludo yang pertama, adalah seekor kucing. Kutahu karena dia menceritakannya padaku suatu saat, sewaktu aku menemaninya berangkat ke kampus. Kucing hitam putih katanya, yang jinak padanya, namun begitu liar pada orang lain.
Namaku Ludo. Cukup Ludo. Aku ada untuk menemaninya juga menggantikan Ludo yang Kucing. Katanya, ia memilihku karena aku bisa menjadi temannya melewati jalanan Jogja yang padat karena jumlah pengendara kendaraan bermotor semakin meningkat. Dengan besi menjulang di kedua sisi setangku, persis tanduk, yang menyebabkan aku juga dipanggil setan, sepeda tanduk, olehnya, walaupun ia lebih suka memanggilku Ludo. Ia juga memintaku untuk menemaninya pergi les, tiap sore, dimana semua teman-temannya berangkat naik motor dan kekampus. Dan ia tetap setia memintaku untuk menemaninya, ketika tempat lesnya pindah yang berarti semakin jauh dari kostnya.
Aku menemaninya melewati sore, bersama menghirup asap kotor yang diciptakan bus angkutan, motor, mobil, dan semua jenis kendaraan bermotor yang memadati jalanan. Aku menemaninya melewati malam, pulang les, ketika teman-temannya sudah mendahuluinya dengan motor. Terkadang malam pun kami lewati dengan hujan yang kadang turun banyak.
Persahabatan kami semakin erat saja. Aku bisa merasakan emosinya. Bagaimana ia harus berjuang menahan arus lalu lintas agar bisa menyeberang jalan membawa aku. Bagaimana kami merasakan hujan bersama-sama. Menjadi satu dalam basah. Ah! Aku selalu meneriakinya, agar dia jangan berputus asa. Karena aku ada untuk menemaninya. Ada untuk memudahkan perjalanannya.
Aku dapat merasakan energi gembiranya. Dia bertemu dengan teman lesnya yang selama ini tidak kenal karena beda kelas, yang juga memakai sepeda. Dia begitu gembira karena tidak akan sendiri lagi menyusuri jalanan yang malam. Jadilah aku juga mempunyai teman baru. Dia tidak memakai tanduk, tapi mempunyai keranjang didepannya.
Dan mulai hari ini, kami bersama menyusuri jalan Jogja dimalam hari. Dia kudengar sering bercerita kepada teman barunya itu, bercerita mengenai banyak hal, bercerita bagaimana kuliahnya, dan juga menanyakan perihal teman barunya itu. Dan tentunya aku juga mempunyau teman baru, dimana roda kami sama-sama bergerak membawa tujuan masing-masing. Kelebihannya, dia mempunyai klakson sehingga aku juga turut aman ketika banyak kendaraan bermotor yang membuat langkah kami kurang lancar.
Namun, suatu saat, aku benar-benar tidak tahu hal ini akan terjadi. Ia membawa teman baru, yang lebih bagus dan dapat berlari kencang. Dan tiba-tiba saja posisiku untuk menemaninya ke kampus dan pergi les tergantikan sudah oleh dia yang dapat berlari kencang.
Aku dibiarkan diam. Berdiri sepanjang hari di sudut parkiran kostnya. Aku dibiarkan sendiri. Lama kelamaan aku menjadi pasrah. Banku menjadi gembos dan rantaiku dibiarkan menjadi karatan.
Suatu saat, aku melihatnya berjalan mendekatiku. Ternyata ia menghampiriku dan lalu menuntunku menuju sebuah bengkel. Banku sudah sempurna lagi dan rantaiku juga diolesi oli. Aku bahagia lagi, menjadi hidup lagi, bisa bermain bersamanya lagi.
Namun, besoknya, aku tahu bahwa aku tak akan pernah bisa menjadi seperti yang dulu lagi baginya. Walau aku sudah sehat lagi, namun apalah artinya aku jika dibanding motor baru yang dipunyainya itu. Aku dibiarkan kembali mendiami sudut kosong tempat parker dikostnya itu.
Suatu hari, ada yang menuntunku keluar dari parkir kost, dan aku tidak mengenal siapa dia. Sepertinya juga bukan teman kostnya. Aku dinaiki dan dikayuh menuju suatu tempat, yang ternyata adalah rumahnya. Dirumahnya tersebut, aku diolesi oli dan debu disekujur tubuhku dibersihkan. Walau tak tahu bagaimana nasibku selanjutnya, namun perasaanku mengatakan, bahwa orang yang tak dikenal yang membawaku ini sepertinya lebih membutuhkanku dibanding teman lamaku itu.