Berisik
dan tidak pernah tertib. Begitulah kesanku setelah beberapa kali masuk dan berkenalan
dengan siswa-siswa kelas tiga SDN Lamuntet,
tempatku bertugas. Guru yang jarang masuk menjadikan
anak-anak ini jarang belajar sehingga mereka sudah terbiasa bermain diluar dan
didalam kelas. Kebiasaan bermain ini berimbas pada susahnya mereka untuk
ditertibkan dan susahnya membuat mereka diam barang sebentar untuk
mendengarkann penjelasanku. Paling lama tiga puluh menit mereka bisa diam di
kelas memperhatikan penjelasanku ditambah dengan membuat tugas. Itupun mereka
akan saling mengunjungi kursi temannya dengan alasan yang biasa: meminjam alat
tulis, melihat mainan baru teman, atau sekedar ngobrol dan bahkan melihat
pekerjaan teman. Terkadangpun, jika sudah bosan berada di dalam, sebaian kecil
diantara mereka akan keluar begitu saja tanpa permisi dan jangan harap akan
kembali. Beberapa murid yang keluar akan masuk lagi hanya untuk mengganggu
temannya dan kemudian keluar lagi. Sering aku mengingatkan mereka agar tidak
keluar sembarangan dan meminta izin dulu padaku. Namun perkataanku dianggap
angin lalu oleh mereka. Untuk menyiasatinya, aku berjaga di pintu kelas agar
mereka tidak bisa keluar seenaknya dan bisa diam sejenak. Selain itu, aku juga
sering menjanjikan akan memutarkan mereka film pendek setelah pelajaran selesai
jika mereka mau mengikuti pelajaranku dan mau mengerjakan tugas. Namun
sayangnya, hampir di beberapa pertemuan, janjiku ini sering mereka jadikan
senjata agar mereka nantinya bisa menonton. Ah, tidak apa-apalah.
Sekali
seminggu jadwalku mengajar di kelas ini untuk mengajar Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA). Dan tentunya, aku harus mempunyai banyak strategi pembelajaran yang
menyenangkan agar mereka tertarik belajar dan tidak keluar kelas sebelum waktu
belajar denganku selesai. Bisa dengan tontonan, menggambar, dan permainan. Jika
hanya dengan ceramah saja, dijamin mereka tidak akan betah duduk lama dikursinya.
Lantas
bagaimana dengan perkembangan akademisnya? Selain daya analisisnya yang masih
rendah untuk ukuran siswa kelas tiga, beberapa
diantaranya belum lancar membaca bahkan hanya
untuk kalimat yang sederhana diperlukan waktu yang lama untuk sampai
selesai ke tanda titik. Harus dieja perlahan yang terkadang menimbulkan rasa
bosan jika aku meminta mereka membaca buku cerita yang kupunya. Anak-anak kelas
ini sebagian besar juga belum tahu perkalian sederhana. Beruntung disana
ditempel papan perkalian dan pembagian yang tiap saat bisa dilihat.
Ketika
aku melihat soal matematika pada ulangan kenaikan kelas ketika aku mengawas
mereka, maka aku hampir memastikan bahwa sebagian besar dari soal, tidak akan
bisa dijawab dengan benar. Tidak adil memang, mengadili sebelum membuktikan.
Namun begitulah kenyataannya. Maka ketika setelah beberapa menit, mulai timbul
berbagai pertanyaan-pertanyaan yang membuat aku terheran-heran. Pertanyaan
tersebut akan dengan mudah dijawab oleh siswa kelas tiga lainnya. Seperti
pertanyaan bagaimana hasil kali 7 dikali 5, bagaimana bentuk sudut tumpul, dan
bagaimana 50 dibagi dengan 5.
Beberapa
anak mengisi jawaban asal-asalan, bahkan mencontek pekerjaan temannya dan
mengumpulkannya kepadaku. Bebas,
mungkin begitulah perasaan mereka sewaktu mengumpulkan hasil pekerjaannya. Kulihat
lembar jawabannya, banyak diantaranya menjawab dengan tidak nyambung. Aku hanya
melengos melihat mereka yang berlalu keluar kelas.
Sekitar
empat orang anak masih asyik mengerjakan soal. Pada saat inilah aku melihat
kegigihan seorang Muridku, Diki, yang terus bertanya kepadaku bagaimana cara
mencari jawaban keliling persegi panjang, aku menjelaskan sedikit bagaimana
caranya. Dan dia kembali kemejanya untuk mencari hasilnya. Kemudian dia datang
lagi menanyakan soal pembagian dan kemudian aku menjelaskan bahwa caranya
adalah 27 dibagi dengan 3. Saat itu aku melihat sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh siswa lainnya selama aku mengajar. Masih mengapit soal dilengannya,
dia keluar sambil berlari. Oh mau kemana
dia? Batinku. Beberapa detik kemudian, dia kembali. Tapi kali ini bukan
hanya lembar soal yang ada ditangannya. Namun kedua tangannya mengenggam
batu-batuan dalam jumlah banyak. Ini batu
mau diapakan? Pikirku tanpa menegurnya. Dia menaruh batuan tersebut diatas
meja dan kemudian menghitungnya. Satu,
dua, tiga, empat….lima, enam, tujuh…….enam belas. Dan kemudian dia berlari
lagi keluar kelas. Masuk lagi dengan batu-batuan yang kembali memenuhi tangannya.
“Enam belas……………tujuh belas…delapan belas…….sembilan belas………….nah, dua tujuh!”
soraknya riang. Sementara temannya yang lain mulai mengerubutinya ingin tahu.
Olala,
baru aku tahu apa maksudnya dengan batu-batu ini. Dia mencari hasil pembagian
27 dibagi dengan 3 dan mengelompokkan batu tersebut tiga tiga sampai batu yang
berjumlah dua puluh tujuh itu habis. “satu, dua, tiga, empat, lima”. Dia
menghitung banyaknya pengelompokan batu tersebut dengan cepat. “Sembilan ibuuuu!!!”
soraknya. Sontak aku dan beberapa siswa lain yang mengerumuninya bertepuk
tangan atas keberhasilannya.
Ah,
mengalami kejadian ini kembali membuatku optimis. Berkaca dan lantas
merenungi,sudahkah saya mengajar dengan gigih, berusaha membuat mereka
mengerti, berusaha membuat mereka tertib, berusaha membuat pembelajaran jadi
menyenangkan mereka. Jika semangat mereka saja sudah tinggi untuk mendapatkan
ilmu, lantas masih pantaskah kita bermalas-malasan mengajar mereka?